Penanggulangan Banjir

I. Latar Belakang

Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun, menuntut upaya lebih besar untuk mengantisipasinya, sehingga kerugian material dapat diminimalkan. Berbagai upaya pemerintah kota yang bersifat struktural (structural approach), ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Kota Banda Aceh. Penanggulangan banjir, selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk mengurangi dampak bencana, meskipun kebijakan non fisik yang umumnya mencakup partisipasi warga dalam penanggulangan banjir sudah dirancang, namun belum diimplementasikan secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan warga, sehingga efektifitasnya dipertanyakan. Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan warga sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi stakeholder, terutama warga yang terkena bencana. Pertanyaannya adalah Apa dan bagaimana peran Pemerintah? siapa yang disebut warga ? Seberapa jauh warga dapat berpartisipasi? Dan pada tahapan mana warga dapat berpartisipasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi warga dalam penanggulangan banjir. Kekeliruan perumusan kebijakan tersebut menyebabkan berbagai kepentingan individu/kelompok lebih dominan, kemudian kebijakan dimanfaatkan untuk kepentingan negatif dan dapat merusak tatanan tata ruang kota yang telah tidak sesuai lagi dengan peruntukannya.  Akibatnya kebijakan yang ditetapkan tidak efektif, bahkan batal. Dengan demikian, penanggulangan banjir yang hanya selalu pembangunan fisik (structural approach) yang cukup menguras kantong APBK, harusnya disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach), yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi warga dalam komunitas-komunitas lingkungan hidup dalam peningkatan kesadaran warga mengenai pentingnya melindungi lingkungan untuk pencegahan banjir, agar hasilnya lebih optimal.  Dari gambaran di atas, maka kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat fisik dari pemerintah kota, harus diimbangi dengan langkah-langkah non-fisik, sehingga peran warga dan stakeholder lainnya diberi tempat dan ruang yang sesuai. Supaya penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif, diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat perencanaan kebijakan (Qanun), termasuk partisipasi warga dan stakeholder lainnya. Atas pertimbangan tersebut, sebagai institusi yang ditugaskan mengkoordinasikan perencanaan pembangunan, Bappeda mengkaji kebijakan penanggulangan banjir yang komprehensif dan tidak bias sektor dan wilayah (Rancangan Tata Ruang Kota), dengan penekanan pada partisipasi warga dalam penanggulangan banjir.

Secara umum penyebab utama banjir adalah perubahan dan eskalasi perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan. Di kawasan budidaya telah terjadi perubahan tata ruang secara massive, sehingga daya dukung lingkungan menurun drastis. Pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri telah mengubah keseimbangan fungsi lingkungan, bahkan kawasan retensi banjir (retarding basin) yang disediakan alam berupa tandon-tandon air (kolam retensi) telah juga dihabiskan.  Keadaan ini secara signifikan menurunkan kapasitas penyerapan air secara drastis. Kondisi ini diperparah dengan sistem drainase permukiman yang kurang memadai, sehingga pada curah hujan tertentu, menimbulkan genangan air di mana-mana. Selain itu, lemahnya penegakan hukum ikut mendorong tumbuh dan berkembangnya permukiman ilegal di bantaran sungai, bahkan masuk ke badan sungai. Keadaan ini makin memperburuk sistem tata air lingkungan, karena kapasitas tampung dan pengaliran sungai menurun dan terjadilah luapan air.

II. Peran Pemerintah Kota

Peran pemerintah kota dalam hal ini Kota Banda Aceh dalam rangka penanggulangan banjir telah dilaksakan dengan baik itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan fisik sesuai dengan mekanisme dan kebijakan yang telah dicantumkan dalam perencanaan  yang mengacu pada tata ruang kota yang terintegrasi.

Parameter kebehasilan peranan Pemerintah Kota dapat diukur dengan berkurangnya titik-titik simpul banjir atau simpul genangan yang dahulu terdeteksi sebagai daerah rawan genangan banjir yang cukup luas cakupan atau sebaran genangannya. Pembangunan berkelanjutan dan langkah pencegahan/preventif dari pemerintah kota Banda Aceh telah diupayakan secara berkala dan secara maksimal antara lain sebagai berikut :

SDAA1.1

  1. Dengan melakukan pengerukan sedimentasi lumpur atau tumpukan sampah yang berada didalam saluran drainase kota secara intensif dan tepat, langkah ini cukup manjur untuk mengurangi genangan ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi. Dengan keberhasilan metode ini Pemerintah Kota mendapatkan apresiasi di pemerintah pusat dengan mendapatkan kendaraan penyedot/penghisap lumpur untuk mengoptimalkan kinerja saluran drainase kota selain dengan perangkat manual.
  2. Langkah lain yang dilakukan oleh Pemerintah Kota adalah perbaikan pintu-pintu air, rumah pompa dan bangunan air lainnya, kendala yang terjadi mengapa beberapa tahun yang lalu sering terjadi genangan banjir di Kota Banda Aceh adalah karena tidak berfungsinya pintu-pintu air serta tidak efektifnya bangunan air dalam melakukan fungsinya dan langkah ini telah dilaksanakan dengan memperbaiki dan mengganti dan menambah seluruh perangkat bangunan air yang diperlukan sehingga kinerja dari semua bangunan air teresbut berfungsi secara maksimal ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi ataupun mendapat banjir kiriman dari hulu yaitu dari DAS Krueng Aceh maupun banjir ROB mengingat kota Banda Aceh yang berbatasan langsung dengan laut yang terletak di pesisi barat dari propinsi Aceh.SDAA1.2
  3. Langkah selanjutnya adalah perbaikan kinerja pelaksana lapangan dalam hal ini petugas ataupun aparatur yang melakukan pengawasan, pemantauan, operasi dan pemeliharaan bangunan air. Bangunan air yang baik tanpa dimanajerial dengan baik oleh petugas/aparatur tidak akan menjamin keterlaksana fungsi dan kinerja bangunan tersebut, maka tidak dipungkiri kinerja sumber daya manusia yang terlibat dalam penanggulangan genangan banjir perlu terkoordinasi dengan baik, dan hal ini telah dilakukan oleh Pemerintah Kota dengan membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) untuk melakukan pengawasan ketika terjadi hujan di wilayah Kota Banda Aceh ataupun terjadi banjir kiriman maupun meningkatnya tinggi muka air laut akibat terjadinya pasang laut. Petugas TRC ini selalu melakukan pemantau dengan intensif untuk memastikan kinerja bangunan-bangunan air berfungsi dengan baik.
  4. Langkah selanjutnya adalah membuat kebijakan (Qanun) secara komferehensif untuk mencegah terjadinya bencana banjir dengan telah memberlakukan Qanun Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009- 2029 yang mengatur tentang mekanisme penataan ruang kota dan peruntukannya (Isi Qanun yang berkaitan dengan Sumber daya Air juga).
  5. Dalam rangka mengurangi dampak banjir, telah disusun berbagai kebijakan dan program penanggulangan, baik yang bersifat prevention, intervention maupun recovery. Pada tahap pra bencana dilakukan: (1) membuat peta rawan bencana; (2) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya; (3) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (4) membuat peta daerah genangan banjir; (5) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (6) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (7) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya; (8) membuat sumur resapan; (9) pemantapan Satkorlak PBP; (10) merevisi tata ruang kota secara terkoordinasi dan terintegrasi; (11) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; (12) membuat penampungan air berteknologi tinggi; (13) menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS dalam hal ini berkoordinasi dengan Balai Sungai; (14) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah; (15) mereboisasi kota dengan taman/hutan kotanya; (16) mendirikan Posko banjir di wilayah RT/ RW.

III. Partisipasi Warga Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan proses teknis untuk memberi kesempatan dan wewenang lebih luas kepada masyarakat, agar masyarakat mampu memecahkan berbagai persoalan bersama-sama. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas, dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk memberi kontribusi sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan. pembentukan Stakeholder atau masyarakat perduli banjir secara umum dikelompokkan menjadi empat, yaitu:

  1. Beneficiaries, adalah komunitas masyarakat yang mendapat manfaat/dampak secara langsung maupun tidak langsung;
  2. Intermediaries, kelompok atau komunitas masyarakat atau perseorangan yang dapat memberi pertimbangan atau fasilitasi dalam penanggulangan banjir, antara lain: konsultan, pakar, LSM, dan profesional di bidang Sumber Daya Air;
  3. Community Care, komunitas masyarakat yang perduli dengan lingkungan sebagai langkah preventif yang secara sadar dan terbuka memberikan sumbangsih pemikiran baik secara keilmuan maupun berdasarkan pengalaman non keilmuan mereka;
  4. Aparatur Gampong, aparatur gampong dalam hal ini adalah aparatur desa yang memiliki dedikasi yang tinggi dan bertanggung jawab terhadap wilayahnya, aparatur Gampong dapat menggerakan komunitas warganya dalam wadah atau dalam kegiatan gotong royong Gampong. Aparatur Gampong ini menjadi ujung tombak dalam memberikan pengertian kepada warganya akan kesadaran tentang masalah banjir dan tindakan pencegahannya. Tingkatan atau struktur aparatur Gampong terdiri dari Keucik dan jajarannya, Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT) dan Pemuda Gampong sebagai penggerak komunitas ini. Aparatur gampong tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan dari Pemeritah Kota, maka sinergifitas antar lembaga pemeritah kota dengan pemerintah gampong harus terjadi singkronisasi.

Partisipasi dari keempat Stakeholder dari masyarakat tersebut di atas dibentuk untuk mewujudkan keinginan bersama agar pengalaman yang lalu ketika terjadi banjir tidak akan terulang lagi, sehingga tingkat kesadaran pada masyarakat membentuk komunitas-komunitas ini dapat menjadi penggerak sebagai agen of change bagi warga kota Banda Aceh.

IV. Akuntabilitas Pemerintah dan Warga Masyarakat

Sejalan dengan tuntutan masyarakat akan keterbukaan dalam program-program pemerintah, maka akuntabilitas pemerintah dapat dinilai dari sejauh mana partisipasi masyarakat dan pihak terkait (stakeholder) dalam program pembangunan. Partisipasi masyarakat, dapat dimulai dari tahap kegiatan pembuatan konsep, konstruksi, operasi dan pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan. Penentuan dan pemilahan stakeholder dilakukan dengan metode Stakeholders Analysis yang terdiri dari empat tahap yaitu: (1) identifikasi stakeholder; (2) penilaian ketertarikan stakeholder terhadap kegiatan penanggulangan banjir; (3) penilaian tingkat pengaruh dan kepentingan setiap stakeholder; (4) perumusan rencana strategi partisipasi stakeholder dalam penanggulangan banjir pada setiap fase kegiatan.

Semua proses dilakukan dengan mempromosikan kegiatan pembelajaran dan peningkatan potensi masyarakat, agar secara aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut ambil bagian, dan memiliki kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan penanggulangan banjir. Tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir terdiri dari tujuh tingkat yang didasarkan pada mekanisme interaksinya, yaitu: (1) penolakan (resistance/opposition); (2) pertukaran informasi (information-sharing); (3) konsultasi (consultation with no commitment); (4) konsensus dan pengambilan kesepakatan bersama (concensus building and agreement); (5) kolaborasi (collaboration); (6) pemberdayaan dengan pembagian risiko (empowerment-risk sharing); (7) pemberdayaan dan kemitraan (empowerment and partnership). (5) lemahnya penegakan hukum; (6) kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah; (7) terbatasnya dana pemerintah.

V. Penghargaan (Reward) dan Hukuman (Punish)

Penghargaan (Reward) dan hukuman (Punish) merupakan keperdulian pemerintah kota terhadap perbaikan kota, penghargaan perlu diberikan kepada masyarakat atau warga serta komunitas masyarakat yang memberikan sumbangsih besar terhadap keberhasil program pemerintah, parameter yang menjadi acuan adalah tingkat keberhasilan komunitas tersebut ditinjau dari hasil dan manfaat yang diperoleh yakni makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan perlindungan lingkungan mereka terhadap bencana banjir (Flood Disaster), sehingga hasil yang didapatkan dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat kota. Sebaliknya adanya hukuman (Punish) dalam hal ini bukan dalam bentuk hukuman dalam ranah hukum, namun memberikan kesadaran bagi warga masyarakat bahwa ketidak perdulian terhadap lingkungan akan berdampak pada bereaksinya alam (hukuman) bagi warga masyarakat. Sebelum hukuman dari alam maka kesadaran yang tinggi dari warga masyarakat dan dari seluruh unsur perlu ditingkatkan.

VI. Kesimpulan

Dari uraian di atas terdapat beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Kebijakan pemerintah kota tentang penanggulangan bencana masih sangat terbatas. Peraturan daerah (Qanun) yang sudah tersedia terbatas pada kegiatan mengantisipasi saja (prevention). Sedangkan kebijakan pada saat bencana menggunakan pedoman-pedoman yang dikeluarkan pemerintah pusat, dan belum berbentuk peraturan daerah. Demikian halnya pada tahapan rehabilitasi pasca bencana.
  2. Partisipasi warga masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat kurang. Peran pemerintah masih sangat dominan pada setiap tahap bencana. Partisipasi masyarakat yang merupakan critical player pada tahap sebelum bencana, memiliki pengaruh sangat kecil dalam proses dan implementasi kebijakan. Tingkat partisipasi terbaik yang terjadi baru pada tingkat consultation. Pada beberapa kegiatan masih pada tingkat information. Di tahap ini masyarakat masih sebagai obyek program/kegiatan pemerintah. Partisipasi telah dimulai pada tingkat partnership pada lingkup lingkungan setempat yang dilaksanakan secara spontan. Kegiatan tanggap darurat, di saat bencana banjir datang, partisipasi masyarakat seimbang dengan stakeholder Tingkat partisipasi yang dicapai adalah partnership, baik secara individu maupun kelompok organisasi sosial. Pada tahapan rehabilitasi setelah bencana, pemerintah kembali dominan, terutama dalam kegiatan fisik. Partisipasi masyarakat hanya sebatas consultation. Tingkat partisipasi risk sharing dan partnership dilakukan lingkup lingkungan setempat.
  3. Pendanaan penanggulangan bencana masih sangat tergantung dari APBN dan APBD Propinsi maupun Kabupaten/Kota, terutama pada tahap prevention dan rehabilitation. Sumber pendanaan dari masyarakat sebagai langkah spontanitas kemanusiaan sudah berkembang di tahap tanggap darurat (intervention). Prakarsa swasta dalam pembiayaan program penanggulangan banjir (pada tahapan prevention) sudah dimulai di beberapa daerah.

VII. Saran

Dalam rangka menyusun rekomendasi kebijakan partisipasi masyarakat dalam kegiatan penanggulangan banjir, perlu ditetapkan lebih cermat tingkat partisipasi pada setiap tahap kegiatan, sesuai dengan jenis kegiatan penanggulangan banjir. Untuk merumuskan strategi partisipasi, juga diperlukan pengelompokan kegiatan penanggulangan banjir atas dasar: (1) besarnya dampak langsung maupun tidak langsung yang akan diterima masyarakat; (2) jumlah dan keragaman penerima dampak kegiatan; (3) intensitas biaya sosial dari suatu kegiatan yang akan diterima oleh masyarakat.

Pembentukan komunitas-komunitas lingkungan dapat memberikan dorongan pada pemerintah untuk lebih konsen terhadap perannya dalam tindakkan pencegahan sebelum banjir, pada saat banjir dan setelah banjir dan begitu juga partisipasi warga masyarakat akan sangat membantu mengurangi beban pemerintah dengan pembagian peran dan partisipasi dari seluruh warga masyarakat, sehingga terjadi suatu komunikasi yang intensif antar lembaga Pemerintah Kota dan komunitas-komunitas lingkungan dapat maksimal.

” By :  Bidang Sumber Daya Air “