Green City Banda Aceh

Pembangunan atTRA1.1au pengembangan kawasan yang tidak terencana dan tidak tertib akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (selanjutnya disebut dengan RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Kota yang berkembang secara ekonomi tetapi menurun secara ekologi, akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekosistem, seperti meningkatnya suhu udara dan pencemaran lingkungan yang pada gilirannya akan menimbulkan biaya (cost) pembangunan yang tinggi, hal tersebut menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk memikirkan berbagai kebijakan pembangunan untuk mendukung disektor linPembangunan atau pengembangan kawasan yang tidak terencana dan tidak tertib akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan hidup. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (selanjutnya disebut dengan RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Kota yang berkembang secara ekonomi tetapi menurun secara ekologi, akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekosistem, seperti meningkatnya suhu udara dan pencemaran lingkungan yang pada gilirannya akan menimbulkan biaya (cost) pembangunan yang tinggi, hal tersebut menjadi tantangan bagi Pemerintah Kota Banda Aceh untuk memikirkan berbagai kebijakan pembangunan untuk mendukung disektor lingkungan yang berkelanjutangkungan yang berkelanjutan.

Tantangan tersebut memicu Pemerintah Kota Banda Aceh untuk mencari suatu solusi dalam regulasi pembangunan berkelanjutan, salah satu upaya tersebut adalah dengan meadopsi model konsep pembangunan berbasiskan “green city” atau Kota Hijau, dan  seiring berkembangnya konsep pembangunan green city, Pemerintah Pusat juga telah menerbitkan regulasi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dimana salah satu amanatnya adalah mewajibkan setiap wilayah perkotaan mengalokasikan ruang wilayahnya untuk RTH Publik sebesar 20 % dari luas wilayah dan 10 % untuk RTH Private. Berdasarkan amanat undang undang penataan ruang tersebut Pemerintah Kota Banda Aceh pada rahun 2006 melakukan review terhadap RTRW Kota Banda Aceh sejalan dengan kajian dampak dari bencana Tsunami yang melanda Provinsi Aceh. Sebagai langkah awal untuk menjamin konsep pengembangan green city berkelanjutan, didalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029 menetapkan alokasi kawasan Budidaya 79,48 % dan  Kawasan Lindung perkotaan sebesar 20,52 %, dan kawasan lindung tersebut merupakan kawasan-kawasan RTH yang akan menjadi penyimbang fungsi ekologi pembangunan yang berkelanjutan.

Atas dasar regulasi RTRW Kota Banda Aceh tersebut, Pemerintah Kota Banda Aceh mulai mengembangkan secara bertahap konsep konsep pembangunan berbasiskan green city, dan upaya-upaya kongkrit Pemerintah Kota Banda Aceh terus dilakukan dengan cara menata Taman Taman Kota, Hutan Kota, Jalur Hijau Jalan, Penataan Jalur Hijau Sungai yang dikolaborasi dengan konsep Water Front City, menata jalur sepeda, serta yang tidak kalah penting yang diupayakan Pemerintah Kota adalah dengan meningkatkan kuantitas RTH Perkotaan dengan melakukan pembebasan lahan kawasan permukiman yang akan difungsikan sebagai Taman Kota dan Hutan Kota.

Sejalan dengan pengembangan kota hijau yang diupayakan Pemerintah Kota Banda Aceh, Pada tahun 2011 oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum mencetuskan Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang diawali dengan melibatkan 60 Kota/Kabupaten diseluruh Indonesia sebagai peserta dalam pelaksanaan Program P2KH dan Kota Banda Aceh sebagai salah satu Kota yang terlibat sejak tahun 2011 hingga tahun 2015. Dalam pelaksanaan Program P2KH setiap Kota diwajibkan menyusun dokumen Master Plan RTH serta dokumen Rencana Aksi Kota Hijau dan Kota Banda Aceh pada 2012 telah menyelesaikan penyusunan dokumen tersebut dengan baik, dimana langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam pelaksanaan kota hijau terdiri 8 (delapan) attribute kota hijau yang harus dilaksanakan, antara lain ; green planning & design, green open space, green community, green energy, green waste, green water, green transportation, green building. Keikutsertaan Kota Banda Aceh dalam pelaksanaan P2KH secara nasional terus berlanjut tahun 2013, tahun 2014 dan tahun 2015, hal berlanjutnya Kota Banda Aceh sebagai peserta P2KH merupakan suatu apresiasi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota Banda Aceh atas berbagai keberhasilan dalam mewujudkan konsep pembangunan di wilayah Kota Banda Aceh dengaTRA1.2n prinsip-prinsip green city.

Implementasi Kota Hijau secara bertahap terus dilakukan oleh Pemerintah Kota Banda Aceh dengan kerangka 8 attribute Kota Hijau yaitu dimulai menetapkan alokasi RTH 20,52 % sebagai implementasi green planning & desaign, meningkatkan kualitas & kuantitas RTH. Setiap tahunnya Pemerintah Kota Banda Aceh mengalokasikan dana untuk pengadaan tanah untuk RTH Publik dan membangun RTH Taman Kota di kawasan-kawasan permukiman, seperti Taman RTH Meuraxa seluas 2 Hektar dibangun tahun 2012 dan tahun 2013 dengan sumber dana APBN, RTH Krueng Neng di Gampong Lamjame seluas 2 Hektar dibangun tahun 2015 juga dengan anggaran APBN, serta pengembangan Hutan Kota Tibang sebagai salah satu area Hutan Kota yang memberikan dampak positif terhadap iklim lokal sekitar kawasan Gampong Tibang. Upaya penyediaan RTH Publik terus dilakukan secara berkelanjutan dan upaya-upaya tersebut telah terealisasi ketersediaan RTH di Kota Banda Aceh yang pada tahun 2009 sebesar 11,8 % atau + 518 Hektar mengalami peningkatan sampai dengan tahun 2015 menjadi  13,20 %  atau + 805 dari luas total wilayah kota.

Dalam pelaksanaaTRA1.3n Green City di Kota Banda Aceh juga tidak terlepas perlibatan peran serta masyarakat, oleh karena itu Pemerintah Kota membentuk Forum Komunitas Hijau Kota Banda Aceh dengan Surat Keputusan Walikota Nomor 366 Tahun 2014 yang melibatkan para komunitas hijau sebagai mitra pembangunan, implementasi green energy diwujudkan dengan melakukan pergantian lampu-lampu taman dengan sumber enegy solar cell, pada kawasan area TPA juga akan dikembangkan energi biogas dari sampah sampah yang ada.

Untuk perwujudan green waste dengan upaya cakupan pelayanan persampahan dimana 95 % pelayanan persampahan sudah terlayani dengan baik,  sampah sampah yang didapatkan tersebut, pada saat ditampung di TPA, terlebih dahulu dilakukan pemilahan agar sebagian sampah sampah yang ada dapat dimanfaatkan kembali atau diolah kembali, dan Pemerintah  Banda Aceh juga secara rutin melakukan pembinaan terhadap pengolahan komposting untuk skala rumah tangga, sekolah sekolah yang ada bank sampah yang telah dibina oleh Dinas kebersihan dan Keindahan Kota. Terhadap pengolahan limbah di rumah sakit juga menjadi perhatian khusus Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menghindari limbah-limbah yang dihasilkan oleh medis, pihak Kantor Lingkungan Hidup Kota Banda Aceh secara berkala memonitor instalasi pengolahan limbah di rumah sakit, serta terhadap penangganan sanitasi, Kota Banda Aceh juga memiliki Dokumen Strategi Sanitasi Kota (SSK) banda aceh, dokumen tersebut menjadi panduan dalam penangganan sanitasi kota agar lebih terfokus penanganannya. Impementasi green water dilakukan dengan upaya menekan angka kebocoran air 3-4 % per tahun, serta meningkatkan kualitasi air dari PDAM Tirta Daroy yang berkualitas air bersih untuk siap diminum dengan memperbaiki kebocoran jaringan perpipaan.

Untuk mTRA1.4endukung implementasi green transportation, Pemerintah Kota melakukan upaya penataan beberapa ruas jalan utama untuk pemanfaatan jalur-jalur sepeda yang terkoneksi dengan pusat-pusat kawasan, terhubung dengan kawasan-kawan RTH, serta juga akan terhubung dengan kawasan-kawasan pusat pendidikan, dan upaya lainnya yang telah terealisasi adalah pengembangan sistim transportasi massa berbasiskan jalan yaitu telah adanya Bus Trans Kutaraja dengan pengembangan 6 (enam) koridor, hingga tahun 2016 ini sudah tersedianya 25 Unit Bus Trans Kutaraja yang akan digunakan untuk 2 koridor, koridor 1 akan dilewati 11 Unit Bus dari Pusat Kota kea rah Darussalam, dan koridor 2 akan dilewati 14 Unit Bus dari Bandara Sultan Iskandar Muda menuju Pelabuhan Ulee Lheu.

Terhadap perwujudan Green Building, langkah awal dilakukan dengan melakukan revisi Qanun tentang Bangunan Gedung yang sudah ada (Qanun Nomor 10 Tahun 2004 tentang Bangunan Gedung) dengan mengadopsi penataan prinsip prinsip green building sebagai regulasi penataan, hal tersebut proses legalisasi talah dilakukan sejak tahun 2015 untuk revisi Qanun Bangunan Gedung tersebut dan di tahun 2016 ini sedang dalam tahap pembahasan di legislatif.

Sebagai bentuk komitmen Pemerintah Kota Banda Aceh terhadap pembangunan dengan prinsip-prinsip green city yang berkelanjutan, Pemerintah Kota Banda Aceh dengan pondasi regulasi yang telah ditetapkan akan mengupayakan berbagai peran serta berbagai komponen masyarakat untuk mendukung implementasi green city yang lebih baik, upaya perlibatan peran serta stakeholder yang ada diberdayakan semaksimal mungkin baik komponen pihak swasta, korporasi, asosiasi, praktisi maupun pihak pelajar, mahasiswa untuk ikut berperan serta sebagai komunitas-komunitas hijau perkotaan yang memberikan warna dalam implementasi nyata Kota Banda Aceh sebagai kota yang menjalankan prinsip-prinsip green city. Pemerintah Kota Banda Aceh juga mendorong berbagai program program CSR pada berbagai korporasi untuk ikut mengambil peran penting dalam pemanfaatan dana CSR yang mendukung green city di Kota Banda Aceh.

“by : Bidang Tata Ruang”