Beradaptasi Pada Banjir

Oleh Prof. Dr. Azmeri, ST. MT. Guru Besar pada Bidang Hidroteknik Jurusan Teknik Sipil Fakutas Teknik Universitas Syiah Kuala

Prof. Dr. Azmeri, ST. MT. Guru Besar pada Bidang Hidroteknik Jurusan Teknik Sipil Fakutas Teknik Universitas Syiah Kuala

Sejak tahun 2002, lebih 95% trend bencana di Indonesia diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi (BNPB, 13 April 2018) yang muncul akibat parameter hidrometeorologi. Bencana banjir termasuk ke dalam bencana hidrometeorologi. Tak dipungkiri lagi kejadian banjir telah berulang kali terjadi di Provinsi Aceh.

Masyarakat mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat banjir. Bila penanganan untuk mengurangi dampak banjir tidak ditangani secara serius, maka dipastikan meningkatkan penderitaan masyarakat, apalagi di tengah bencana Covid-19 ini.

Masyarakat Banda Aceh dan Aceh Besar terkaget saat hujan nyaris tanpa henti mengakibatkan dua wilayah yang terletak pada satu Daerah Aliran Sungai (DAS) ini dilanda banjir pada tanggal 8 dan 9 Mei lalu dengan durasi yang panjang. Hujan masih mengguyur pada 10 Mei sore hari dengan intensitas yang tinggi.

Manusia sesungguhnya adalah makhluk yang diciptakan untuk dapat belajar dan beradaptasi. Sebagaimana layaknya seorang dokter menentukan resep untuk pasiennya, perlu untuk menegakkan diagnosa penyakit yang dialami si pasien. Seiring dengan itu maka kejadian banjir dalam tiga hari tersebut mestinya membuat kita belajar mengetahui penyebab banjir dan menentukan langkah yang tepat untuk mengurangi risikonya di masa mendatang.

Mari kita sejenak memandang daerah kita ini sebagai satu hamparan DAS. Kawasan dalam satu DAS saling terkait dan mempengaruhi dari hulu ke hilir. Berdasarkan data hujan yang diperoleh dari beberapa stasiun hujan pada tanggal 8 Mei di sekitar Banda Aceh dan Aceh Besar hampir secara keselurahan bernilai di atas 100 mm.

Beberapa stasiun mencatat nilai <150 mm, bahkan terdapat catatan hujan setinggi 287 mm pada stasiun Pulo Aceh. Hujan dengan intensitas 100-150 mm tergolong dalam hujan sangat lebat (ekstrim). Konon lagi bila bernilai di atasnya.

Hal ini adalah diagnosa pertama sebagai gambaran bahwa Kota Banda Aceh dan Aceh Besar dilanda hujan dengan intensitas ekstrim. Berdasarkan hasil analisis singkat penulis, nilai hujan ekstrim ini mendekati nilai hujan rencana untuk R1000 tahun (dalam Kajian Fungsi Floodway terhadap Desain Awal). Debit yang diperoleh dengan hujan ekstrim ini bernilai 1.766 m3/detik.

Berdasarkan pantauan, pada saat kejadian banjir fungsi floodway mengalirkan debit dalam kondisi terkendali. Namun sumbangan air yang besar juga diperoleh dari anak-anak sungai Krueng Aceh, seperti Krueng Tanjong, Krueng Lueng Paga, Krueng Daroy, dan Krueng Doy. Pada intinya, kejadian banjir ini mirip dengan kejadian banjir pada tahun 2000. Banda Aceh diterjang banjir dari arah anak sungai dan hujan lebat di atas Kota Banda Aceh. Kejadian banjir kali ini diperparah dengan kondisi “Full Moon” bertepatan 15 Ramadhan 1441 H, dimana pasang sedang tinggi.

Serangan dari hulu dan hilir mengakibatkan Kota Banda Aceh seakan lumpuh dalam 2-3 hari itu. Dua penyebab ini kita sadari adalah given from Allah. Pemberian Allah tidak dapat kita hindari. Berdasarkan hasil pantauan lokasi terdapat beberapa titik masalah pada sistem drainase, mulai dari saluran minor dan mayor, sampai ke sistem pompa. Namun kita memiliki kekuatan untuk mengurangi risiko banjir dalam penentuan kegiatan yang tepat, berupa penanganan sistem drainase yang baik.

Berdasarkan kejadian banjir, penulis merangkum beberapa poin yang dapat dijadikan perhatian untuk mengurangi dampak banjir:

Sesungguhnya telah tersedia master plan drainase Banda Aceh. Saat ini perlu untuk dilakukan updating, terutama untuk kondisi dan arah aliran air dalam saluran.

Masing-masing sistem drainase ditangani sesuai tupoksi:

Saluran pengumpul dan tersier di pemukiman, dapat segera memberikan instruksi kepada aparat desa untuk pembersihan pada titik bermasalah.

Saluran sekunder dan primer, kepada dinas terkait untuk segera identifikasi titik-titik sumbatan, sedimentasi, bottle neck saluran untuk segera dibersihkan.

Berdasarkan pantauan, terdapat ruas-ruas jalan di sekitar kota yang sangat sedikit bahkan tidak memiliki outlet saluran sebagai jalan air menuju ke drainase. Hal ini menyebabkan waktu tunggu genangan untuk mencapai saluran menjadi lama.

Pada saat kejadian banjir ini, terjadi hambatan matinya operasi pompa Punge dan Lampaseh karena fasilitas Mekanikal Elektrikal (ME) tergenang air banjir. Fasilitas ME ini dapat direstruktur lebih tinggi untuk menghindari terhentinya operasi di masa mendatang.

Persoalan terkait drainase perkotaan perlu perhatian lebih karena menyimpan hambatan antara lain:

Pertemuan saluran pada hampir 99% berbentuk siku-siku. Persimpangan dipastikan akan terjadi kehilangan energi dalam pengalirannya sehingga memperlambat aliran.

Persoalan masyarakat dengan sampah dan mendirikan bangunan liar, seperti tempat berjualan yang banyak terletak di atas drainase yang menghambat dalam OP.

Sering dijumpai utilitas lain yang menghambat aliran karena tersangkutnya sampah.

Bila sangat mendesak, perlu koordinasi dengan PU Bina Marga dapat dilakukan memotong sementara jalan sebagai jalan air. Selanjutnya dapat dibangun gorong-gorong permanen bila wilayah tergenang memang luas dan tinggi genangan. Untuk hal ini tetap perlu memperhatikan jalan lingkar bagi masyarakat.

Kondisi topografi Kota Banda Aceh antara -0,45 m sampai +1,00 m di atas permukaan laut (dpl), dengan rata-rata ketinggian 0,80 m dpl. Bentuk fisiografi relatif datar dengan kemiringan antara 2-8%. Bentuk ini rentan terhadap genangan, khususnya pada saat terjadinya pasang air laut. Karena itu, operator rumah pompa perlu untuk lebih memperhatikan hal ini dalam pengoperasian pompa. Sebaiknya setiap operator dilengkapi dengan fasilitas aplikasi informasi pasang surut yang user friendly (seperti Nautide: pasang surut, angin, ombak, solunar +), agar pengoperasian pompa lebih optimal.

Mengingat flatnya dataran Kota Banda Aceh, menyebabkan laju aliran cenderung lebih lambat. Pembuatan resapan air seperti: rain harvesting, biopori, dan kolam retensi dapat menjadi alternatif, selain memperbanyak ruang terbuka hijau.

Pada kawasan cekungan, saat banjir segera ditempatkan pompa portabel untuk menguras air. Pompa tersebut dapat dibuat permanen bila dinilai luas dan tinggi genangan cukup besar.

Mengingat sumber air berada pada satu DAS, kerjasama Pemkab Aceh Besar dan Pemko Banda Aceh sangat penting dalam mengelola air berlebih ini. Terutama mengenai alih fungsi lahan. Perubahan tata guna lahan akan menaikkan debit puncak banjir.

Terakhir, mindset OP drainase juga tidak hanya terpaku pada pembersihan drainase menyambut bulan-bulan “ber” saja, seperti: September dan Oktober. Untuk ke depan perlu dicermati bahwa wilayah Aceh mulai dari Sabang, sebagian Aceh Besar, pesisir barat selatan Aceh dikenal dengan pola hujan equatorial dengan dua puncak hujan.

Puncak tertinggi di bulan November-Desember, dan puncak hujan dengan intensitas lebih rendah di bulan April-Mei. Analisis puncak hujan ini berdasarkan data rata-rata curah hujan 10 tahun terakhir pos-pos hujan yang ada di setiap kecamatan di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Pergeseran mungkin saja terjadi, namun dua puncak hujan tersebut perlu menjadi perhatian. Nyata saat ini kita berada di puncak pertama di awal tahun ini.

Sumber –> serambinews.com