Aceh, Jangan Gagap Hadapi Covid-19

Oleh dr. Adrian Almahmudi,  Mahasiswa Pascasarjana FKM Unmuha Aceh, Anggota Junior Dokter Network Indonesia (JDN) Cabang Aceh

dr. Adrian Almahmudi, Mahasiswa Pascasarjana FKM Unmuha Aceh, Anggota Junior Dokter Network Indonesia (JDN) Cabang Aceh

Bertambahnya kasus Covid-19 hingga mencapai angka seratusan yang postif di sejumlah daerah di Aceh, termasuk Banda Aceh dan Aceh Besar, bukanlah hal yang mengejutkan bagi kebanyakan praktisi kesehatan di Aceh. Padahal, sebelumnya Aceh sempat diproklamirkan sebagai zona hijau dikarenakan dalam kurun waktu tertentu tidak terdapat penambahan kasus positif Covid-19.

Kasus Covid-19 positif di beberapa daerah cenderung merupakan kasus gejala ringan hinga tanpa gejala (Orang Tanpa Gejala), kasus tersebut umumnya didapatkan pada saat penderita Covid-19 melakukan pemeriksaan mandiri. Belum lagi penambahan kasus di beberapa rumah sakit dialami tenaga kesehatan rumah sakit negeri dan swasta yang belum siap dengan kasus Covid-19. Tenaga kesehatan juga beresiko menjadi korban akibat ketidakjujuran keluarga yang mencoba munutupi riwayat perjalanan keluarganya yang ternyata terinfeksi Covid-19.

Hal ini menggambarkan bahwa kasus Covid-19 di Aceh merupakan fenomena gunung es. Kondisi lonjakan kasus ini juga menegaskan telah terjadinya transimisi lokal di Provinsi Aceh dan tentunya perlu adanya efektivitas penanganan kasus Covid-19 oleh pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh, serta dukungan oleh masyarakat Aceh dalam menjalankan protokol kesehatan yang telah dianjurkan, seperti memakai masker, menghindari keramaian, dan menjaga kebersihan.

Beberapa pakar kesehatan Aceh menilai kasus Covid-19 di Aceh yang mengalami peningkatan tersebut merupakan gelombang pertama yang belum mencapai puncak kasus, dan masih berpeluang mengalami lonjakan kasus. Kondisi masih gagapnya pemerintah dan masyarakat yang tidak tertib dalam upaya penanggulangan dan pencegahan dapat menjadi faktor semakin bertambahnya kasus Covid-19.

Tanpa gejala

Menurut data dari Dinas Kesehatan Aceh Utara bulan yang lalu, didapatkan bahwa sembilan warga Lhoksukon Aceh Utara yang positif Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), berhasil dirujuk ke RSU dr Zainoel Abidin, Banda Aceh. Hal ini tentu memunculkan beberapa pertanyaan, akankah RSUDZA mampu jika terus menerus menampung pasien tanpa gejala atau dengan gejala ringan?

Pola penanganan pasien Covid-19 yang tekesan tersentralisasi di fasilitas kesehatan terbaik di Aceh ini, menunjukkan kabupaten/kota masih kewalahan dan gagap dalam mengelola kasus Covid-19. Bahkan, beberapa minggu sebelumnya, ada berita yang memuat ungkapan kekecewaan oleh tim gugus tugas Aceh Timur terhadap RSUD Aceh Tamiang dan RSUD Kota Langsa yang masih belum siap merawat pasien Covid-19, sehingga ada 1 (satu) pasien tanpa gejala yang harus dirujuk dari Aceh Tamiang menuju Aceh Timur.

Kesan ketidaksiapan beberapa kabupaten/kota di Aceh menunjukkan masih gagapnya Pemerintah Aceh dalam penanganan Covid-19. Karena jika isolasi pasien positif Covid-19 yang tidak bergejala- gejala ringan masih menjadi kendala kabupaten dan kota, bagaimana jika kemudian pasien-pasien dengan gejala sedang dan berat akan dirawat. Kemungkinan besar akan terjadi penumpukan pelayanan Covid-19 di RSUDZA, padahal RSUDZA masih memiliki kapasitas yang terbatas.

Menurut informasi, ruangan rawat isolasi I hanya tersedia 12 tempat tidur, ruangan isolasi lain masih dipersiapkan, ditambah ruangan rawat intensif pernafasan (Respiratory Instensive Care Unit) hanya tersedia 6 tempat tidur dengan 6 mesin ventilator, tentunya ini dianggap masih belum seimbang dengan potensi penambahan kasus.

Bila diasumsikan dengan data rata-rata pasien Covid dengan gejala sedang-berat bisa mencapai 6% dari total kasus, maka jika ada 80 kasus positif, akan dibutuhkan 6 bed rawatan intensif. Kapasitas yang terbatas ini harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi Aceh dan pemerintah kabupaten/kota untuk upayakan kesiapan dalam penanganan pandemi yang masih berpeluang alami ledakan kasus.

Ada alasan mengapa hal ini perlu mendapat perhatian serius semua pihak, beberapa penelitian memaparkan bahwa satu orang penderita Covid-19 berpotensi menularkan virus kepada lebih dari lusinan kasus baru jika tidak lakukan isolasi. Jika infeksi virus influenza biasa memiliki angka infeksius rata-rata hanya 1.3-1.4, maka Covid-19 bisa mencapai hingga 10 kali lipat lebih infeksius dibandingkan flu biasa tersebut.

Dengan besarnya resiko penyebaran, pemerintah punya peran vital dalam melakukan sosialisasi dan sanksi bagi masyarakat yang tidak menjalankan protokol kesehatan dengan baik, menyiapkan sarana prasarana kesehatan yang memadai untuk mengisolir penyebaran virus di daerah sampai mempersiapkan skenario jika Aceh memerlukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).

Ada resiko

Perjalanan yang ditempuh oleh petugas ambulans, tenaga kesehatan hingga berjam-jam memiliki resiko kelelahan dan mengalami kecelakaan dalam perjalanan. Tercatat, sudah terjadi 2 (dua) kali kecelakaan mobil ambulans yang membawa penderita Covid-19 Aceh dengan gejala ringan dan tanpa gejala.

Hal ini sepatutnya jadi pembelajaran pemerintah kabupaten kota untuk tidak menempatkan petugas dalam kondisi lelah dan resiko dalam perjalanan terhadap kondisi yang seharusnya bisa ditangani di daerah tanpa perlu dirujuk. Mengingat di dalam perjalanan petugas juga memakai APD lengkap sampai tidak bisa mengonsumsi apapun sepanjang perjalanan menjadikan perjalanan rujukan pasien akan semakin beresiko.

Pasien yang positif Covid-19 juga berpotensi mengalami kelelahan dalam perjalanan, sehingga dapat memperburuk imunitas tubuh. Belum lagi tekanan psikis di saat pasien Covid-19 harus memikirkan bagaimana dengan kondisi perawatannya yang terisolir jauh dari tempat tinggalnya.

Jika kita melihat kota-kota besar lain dalam penanganan Covid-19, sebaiknya pemerintah menyediakan bangunan yang bisa menjadi tempat isolasi bagi penderita Covid-19 yang terkonfirmasi positif dan orang dalam pemantauan. Selain bangunan, ketersediaan staf dan logisitik APD juga harus dipersiapkan. Kesiapan ini dinilai baik jika sampai kepada skenario terburuk, jika ruangan isolasi tidak dapat menampung seluruh kasus positif Covid-19, Pemerintah Aceh harus sudah memiliki jawaban yang pasti.

Kepedulian sosial

Banyak dampak yang harus dirasakan oleh penderita Covid-19, bukan hanya soal perburukan dari penyakitnya. Akan tetapi, juga dampak sosial di masyarakat. Sehingga dalam banyak kasus penderita yang memiliki potensi infeksi (Orang Dalam Pemantauan) cenderung menutup informasi saat menjalani pengobatannya atau saat menjalani aktifitasnya sehari-hari. Konon lagi penolakan dan diskriminasi hingga penolakan saat pemakaman jenazah menjadikan Covid-19 ini menjadi momok dan aib bagi penderitanya, meskipun pada dasarnya penyakit ini hanya bersifat sementara.

Kepedulian sosial masyarakat perlu dibangun secepat mungkin, sehingga siapapun yang terinfeksi atau memiliki potensi infeksi (Orang Dalam Pemantauan) tidak merasa tersingkirkan dari kelompok masyarakat jika terkonfirmasi positif, dan proses pelacakan dan isolasi kasus berjalan sesuai rencana.

Jika pemerintah dan masyarakat tidak gagap dan saling mendukung dalam menangani pandemi virus Covid-19, maka insya Allah pandemi ini akan teratasi dengan baik tanpa perlu ada yang merasa dikorbankan kondisi ekonomi dan kesehatannya.

Sumber –> serambinews.com