“Kalau kita lihat secara kasat mata, aturan-aturan itu memang tidak dipatuhi oleh masyarakat. Apalagi kalau kita masuk ke kedai-kedai kopi, malah tidak ada yang memakai masker,” ujar Dr Endang.
BANDA ACEH – Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, menjadi elemen penting dalam penanganan Covid-19. Seiring meningkatkan jumlah kasus di Aceh, masih banyak masyarakat dinilai yang belum patuh. Hal itu disampaikan oleh Wakil Direktur Bidang Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA), Dr dr Endang Meutiawati SpS.
Ia menyampaikan dalam webinar dengan tema “Mengapa Terjadi Pembludakan Pasien Covid-19 Di Aceh” yang berlangsung secara daring, Kamis (16/7/2020).
Dr Endang menyampaikan, salah satu yang mematikan dari Covid-19 karena virus tersebut tidak terlihat kasat mata.Lalu jika masuk ke rongga hidung atau mulut, maka akan langsung turun ke rongga paru-paru dan dapat menyebabkan kematian.
Salah satu cara untuk menyelamatkan masyarakat dari pandemi ini, dengan meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap aturan pencegahan atau protokol kesehatan. Menurutnya, penanganan dapat dilakukan dengan memakai masker, jaga jarak,cuci tangan, dan menjaga imunitas tubuh.
“Kalau kita lihat secara kasat mata, aturan-aturan itu memang tidak dipatuhi oleh masyarakat. Apalagi kalau kita masuk ke kedai-kedai kopi, malah tidak ada yang memakai masker,” ujar Dr Endang.
Menurutnya, timbulnya kasus Covid-19 di suatu daerah sangat bergantung dengan prilaku masyarakatnya sendiri.
Ia mencontohkan Jepang, bisa cepat dalam mengendalikan Covid disebabkan oleh masyarakatnya yang sangat patuh.
“Kepatuhan masyarakat terhadap aturan menjadi elemen penting dalam penanganan Covid, Kalau sejak awal masyarakat patuh dalam melaksanakan protokol kesehatan, maka saat ini pemerintah dan tenaga medis tidak perlu serepot saat ini,” tegasnya.
Ia menceritakan kasus Covid-19 di RSUZA, saat itu ada pasien yang positif, lalu dilakukan swab penelusuran ke keluarga dan orang sekitar, hasilnya semua positif. Menurutnya, kondisi membuktikan tidak ada protokol kesehatan.
Sementara pada kasus lain, ada seorang perawat yang positif, lalu ketika ditelusuri ke rekan sejawat, tenaga gizi, cleaning service, hingga petugas keamanan yang kontak perawat tersebut, hasilnya semua negatif. Menurut Endang, kondisi itu terjadi karena peran masker yang dipakainya mampu menghalau.
Sementara Anggota DPD RI, Sudirman atau yang akrab disapa Haji Uma menyampaikan, seiring meningkatknya kasus Covid-19 ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap wabah tersebut menurun. Menurutnya, dari aspirasinya diserap di masyarakat, banyak masyarakat menilai peningkatan kasus ini sebagai akal-akalan pemerintah dalam menghabiskan anggaran.
Kata Haji Uma, ketidakpercayaan itu karena masyarakat berpendapat, jika hingga akhir Mei lalu angka Covid di Aceh masih sangat rendah. Sementara anggaran dari Pemerintah Aceh sebesar Rp 1,7 juta triliun atau Rp 2,3 triliun jika digabung ke kabupaten/kota, hingga kini belum banyak terserap.
Selain itu, katanya, masyarakat mempertanyakan keakuratan uji status Covid-19 dengan sistem rapid test. Namun di sisi lain, pemerintah justru melakukan uji massal dengan rapid test. Sehingga menambahkan penilaian masyarakat, jika uji itu hanya upaya penghabisan anggaran.
Dalam seminar daring itu, Haji Uma juga melanjutkan aspirasi masyarakat terkait dasar penetapan zona merah untuk 9 kabupaten/kota di Aceh beberapa waktu lalu. Karena tidak ada parameter yang jelas dan tidak ada penjelasan atas penetapan itu.
“Apa yang harus dilakukan? tim gugus harus mampu menyakinankan masyarakat dalam kinerjanya, serta penanggungjawaban anggaran dan keakuratan test,” ujar Haji Uma.
Seminar daring itu menghadirkan pemateri lainnya, yaitu Muhammad daud MSi (Ketua Ikatan Alumni Magister Ilmu Kebencanaan Unsyiah), Saifullah Abdulgani (Jubir Gugus Tugas Covid-19 Aceh), Dr Nazli Ismail MSi (Kepala Prodi Ilmu Kebencanaan Unsyiah). serta moderator, Risma Sunarty MSi.
Sumber –> serambinews.com