Banda Aceh : Pemerintah Kota Banda Aceh diminta segera membentuk Tim Terpadu untuk membahas kelanjutan pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang tertunda lebih dari 3 tahun, disamping perlu segera dilakukan heritage impact assesment di lokasi pembangunan IPAL tersebut.
Dua dari empat poin penting tersebut di sampaikan Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh Dr. Taqwaddin Husin, kepada puluhan wartawan di lokasi Pembangunan IPAL di Gampong Jawa, Selasa (27/04/2021). Turut hadir mendampingin kepala Ombudsman Aceh, jajaran Pemerintah Kota Banda Aceh, di antaranya Asisten I dan II, dan Kepala PUPR.
Langkah selanjutnya tegas Taqwaddin, Pemerintah kota perlu memprogramkan manajemen media dan melakukan edukasi serta sosialisasi terkait IPAL.
“pada pertemuan tanggal 19 April lalu di Kantor Ombudsman, kami telah pertemukan pemerintah kota Banda Aceh dengan pihak pihak yang kontra terhadap kelanjutan pembangunan IPAL ini, turut kami undang dari unsur sejarawan, Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Ketua MPU Banda Aceh, BPN Kota Banda Aceh LSM Mapesa, LSM Darud Dunia, dan para aktifis lainnya, tujuannya untuk menyelesaikan persoalan tertundanya pembangunan IPAL” jelas Taqwaddin
Menurut Taqwaddin, pembahasan dan upaya untuk menyelesaikan persoalan kelanjutan pembangunan IPAL tersebut, pihaknya melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (OMI) untuk mencari titik temu dan menggali informasi dari berbagai pihak untuk mengetahui permasalahannya dengan metode terbuka dan tertutup.
“Nah hari ini sengaja kami mengundang teman teman wartawan untuk memberikan penjelasan secara langsung di lokasi proyek ini, supaya dapat melihat secara langsung pembangunan yang telah tertunda sejak 3 tahun lalu karena ada penolakan. Banyak yang menolak, justru orang yang belum pernah ke lokasi ini. Selama ini kan, nampak di media begitu banyak batu nisan yang bagus bagus dan berukir, padahal sangat bertolak belakang. Ini kan area nya hanya 3.000 meter bukan puluhan hektar, begitu ditemukan 6 batu nisan di kolam kelima, langsung di amankan. IPAL ini kan heboh karena peran media, kehebohan ini tidak ada satupun yang melapor ke Ombudsman, dan karena ini merupakan kepentingan publik, maka kami bersikap untuk melakukan investigasi atas prakarsa sendiri”, urai Taqwaddin.
Di tempat yang sama, Asisten II Setdako Banda Aceh Teuku Samsuar menjelaskan, Walikota telah mendapatkan resume hasil keputusan rapat di kantor Ombudsman Aceh, dan telah menindaklanjutinya dengan membentuk Tim Terpadu, terdiri dari berbagai unsur.
“tadi sebagaimana dikemukakan Kepala Ombudmasn, ada 4 rekomendasi ya, untuk Tim tinggal di SK kan, dan untuk heritage impact assesment sedang berlangsung saat ini. Sedangkan untuk kegiatan sosialisasi akan kita tingkatkan lagi mulai sekarang, termasuk dengan kegiatan manajemen media seperti yang kita laksanakan hari ini’, ungkap T. Samsuar.
Sementara itu, masih dilokasi dan kesempatan yang sama, Kepala Dinas PUPR Kota Banda Aceh, Jalaluddin, selaku pelaksana teknis menguraikan sejarah pembangunan proyek IPAL yang dimulai dengan penyusunan masterplan IPAL skala kota pada tahun 2012 lalu serta telah melalui proses konsultasi publik, ini bantuan dari Kementerian PUPR, pemerintah kota hanya menyediakan lahan, di areal seluas 1 hektar.
“ini adalah kebutuhan kita, dan sesuai dengan tata ruang kota, lokasinya memang disini, tempat pemrosesan akhir, ada 2 yang diproses di sini, limbah padat dan cair, yang padat merupakan tumpukan sampah seperti yang terlihat si sebelah sana, sedangkan limbah cair adalah yang disedot dari rumah rumah warga kota. Kemudian, ini lokasi sebenarnya di Gampong Jawa, bukan Gampong Pande, ini dapat dibuktikan dengan kepemilikan lahan yang sah”, rinci Jajaluddin.
Ditambahkan, dari 1 hektar lahan yang tersedia, yang digunakan untuk pertapakan IPAL hanya seluas 3 ribu meter, selebihnya digunakan untuk lahan parkir serta fasilitas pendukung lainnya dan area hijau.
“Proyek ini kita mulai ditahun 2015, dan dalam pelaksanaannya di akhir tahun 2017, saat penggalian kolam kelima di kedalaman 5 meter,ditemukanlan 6 nisan kuburan, seperti yang terlihat di sebelah sana. Pelaksana proyek dari kementerian PUPR menghubungi kita, dan kita tanggapi dengan mengundang pihak dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh dan pihak terkait lainnya, tidak ada yang kita tutup tutupi”, imbuh Jalaluddin.
Menurut Jalaluddin, sebenarnya pemerintah kota telah ikut menyelamatkan situs tersebut (batu nisan) dan sama sekali tidak ada niat untuk merusak situs/cagar apapun yang ada di wilayah Kota Banda Aceh.
Untuk itu, pihaknya berharap, masyarakat dapat memahami posisi pemerintah kota, pada satu sisi perlu membangun IPAL yang menjadi kebutuhan utama untuk menyelamatkan lingkungan dan potensi sumber air bersih, si sisi lainnya juga menjaga serta melestarikan berbagai situs dan cagar budaya yang ada.
Sumber –> rri.co.id