Oleh H Aminullah Usman, S.E., Ak., M.M, Wali Kota Banda Aceh
Perkembangan pembangunan sebuah daerah tidak terlepas dari pengaruh iklim investasi di daerah tersebut. Investasi dan pembangunan sangat erat kaitannya. Besarnya geliat investasi, akan cepat pula pertumbuhan ekonomi dan pembangunan.
Iklim investasi bisa dikatakan salah satu indikator kemajuan sebuah daerah atau bangsa. Dengan banyaknya investor yang masuk maka akan banyak pula terbuka lapangan usaha/perkerjaan sehingga dapat menekan angka pengangguran dan kemiskinan daerah tersebut.
Presiden RI Joko Widodo dalam pidato visi Indonesia pada 14 Juli 2019 silam juga menitikberatkan pada peningkatan investasi karena dengan cara itu rakyat terbantukan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan.
“Kita harus mengundang investasi yang seluas-luasnya dalam rangka membuka lapangan pekerjaan. Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Dengan cara inilah lapangan pekerjaan akan terbuka sebesar-besarnya. Oleh sebab itu, yang menghambat investasi, semuanya harus dipangkas, baik perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi ada punglinya!”
Menghadirkan investor tentu bukan saja dibutuhkan lobi yang intens, tapi juga harus diikuti oleh kemudahan perizinan. Birokrasi yang berbelit-belit akan memperlambat pertumbuhan iklim investasi dan pada akhirnya yang merugi adalah daerah sendiri. Sejalan dengan itu, Pemerintah Kota Banda Aceh dalam beberapa tahun terakhir terus berupaya mengait investor sebanyak-banyaknya untuk menanamkan modalnya di ibu kota Provinsi Aceh ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Berbagai kemudahan juga diberikan terutama dalam hal perizinan. Pemerintah Kota Banda Aceh membangun Mall Pelayanan Publik (MPP) yang salah satu tujuannya memperpendek jalur pengurusan perizinan dengan melayani di satu tempat dan cepat.
Pemerintah Kota Banda Aceh memang sedang menggelar karpet merah bagi investor dan mengejar kemajuan dengan memperkuat pembangunan infrastruktur. Alhasil beberapa investor pun tergoda dengan kota yang berpenduduk 265.111 jiwa ini. Salah satunya dari pengusaha nasional, Chairul Tanjung yang membangun ‘Trans Studio Mal’ termewah di pulau Sumatera yang kini dalam tahap pembangunan. Investasi ini bernilai hampir mencapai Rp 1 triliun. Selain itu ada juga beberapa hotel sedang dalam pembangunan.
Pengusaha asal Malaysia juga berniat membangun pusat perbelanjaan dan hotel di eks lahan Terminal Keudah. Tentu kehadiran mereka akan membantu terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan di kota yang berslogan `Kota Gemilang’ ini. Capaian-capaian tersebut bukan datang dengan sendirinya. Tetapi harus dijemput dan dikawal dengan serius sehingga embrio investasi berubah wujud menjadi pembangunan.
Multiplier effect
Pada hakikatnya, kehadiran investor memberikan multiplier effect bagi pembangunan dan ekonomi daerah. Selain membuka lapangan pekerjaan juga bisa menyelamatkan keuangan daerah untuk pembiayaan pembangunan sehingga bisa dialihkan ke hal lain.
Dengan demikian, APBK bisa dialihkan untuk membangun pekerjaan yang tidak bisa dijangkau dengan anggaran APBA, APBN, dan hibah luar negeri. Itulah sebabnya saya berjuang keras mencari sumber pendanaan dari luar APBK. Jika dilihat grafik investasi di Banda Aceh terus meningkat dari tahun ke tahun sejak kepemimpinan Aminullah Usman-Zainal Arifin. Tapi untuk tahun ini sedikit melambat lantaran sedang terjadi wabah pandemi Covid-19.
Sebagai perbandingan, realisasi investasi Banda Aceh (triwulan I s/d triwulan 4), yaitu tahun 2016 realisasi investasi sebesar Rp 15.9 triliun, tahun 2017 realisasi investasi meningkat Rp 118 triliun. Pada tahun 2018 realisasi investasi sebesar Rp 248 triliun dan tahun 2019 realisasi investasi meningkat Rp 566 triliun.
Pertumbuhan investasi dapat pula kita lihat pada medio 2019 di mana jumlah pertumbuhan real estate 262 unit, hotel 4 unit, dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) 1 unit. Sementara tahun 2020, real estate tumbuh 78 unit, hotel dan SPBU masing-masing satu unit.
Sedangkan penanam modal dalam negeri (PMDN) tidak menyampaikan laporan dengan seharusnya, disebabkan pandemi Covid-19 yang masih berlangsung di Indonesia dan turut berimbas di Kota Banda Aceh.
Banda Aceh sebelum merebaknya wabah Covid-19 sudah menjadi incaran investor baik dari dalam maupun luar negeri. Tapi belakangan beberapa investor yang sudah komit berinvestasi terpaksa menunda karena terhalang pandemi Covid-19.
Indikator yang menjadi sebab datangnya investor ke ibu kota Provinsi Aceh sebagai tempat menanam modal, di antaranya pemerintah kota komit menyediakan lahan yang diperlukan sekaligus memberikan berbagai kemudahan perizinan.
Selain itu, Banda Aceh juga memiliki andalan utama di sektor pariwisata, baik dari segi alam, pantai, maupun kulinernya. Di sisi lain, Banda Aceh secara khusus, dan Aceh pada umumnya juga memiliki wisata religi dan sejarah yang sudah dikenal di mata dunia. Di antaranya Museum Tsunami, PLTD Apung, boat di atas rumah, Masjid Raya Baiturrahman, Gunongan, Taman Putro Phang, Rumoh Aceh, Makam Syiah Kuala, Kerkhof Belanda, dan Taman Bustanussalatin.
Bila dilihat dari sumber daya alam (SDA), kota yang berada di pantai barat ini memiliki prospek investasi di sektor pendidikan, kelautan, dan kesehatan. Yang paling menentukan adalah Banda Aceh sebagai kota paling aman karena tidak pernah terjadi konflik berbasis SARA.
Dukungan masyarakat
Pembangunan tidak bisa berjalan tanpa adanya dukungan masyarakat, yang sangat menentukan kemajuan suatu daerah. Karena itu, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan menjadi suatu keharusan. Pembangunan yang dirancang pemerintah juga tidak terlepas dari kemauan masyarakat sendiri. Karena konsep dasar pembentukan pemerintah untuk memberikan pelayanan dan menjamin kehidupan rakyatnya.
Karena itu, saya mengajak semua warga kota untuk menunjukkan sikap ramah kepada investor. Dengan datangnya investor, lapangan pekerjaan akan terbuka seluas-luasnya. Sementara peran pemerintah mengontrol agar pembangunan berjalan sesuai perencanaan.
Pemerintah Kota terus berupaya memberikan yang terbaik untuk warganya. Beberapa kerja nyata sudah terbukti keberhasilannya seperti setiap tahun terus terjadi penurunan angka kemiskinan dan pengangguran di Banda Aceh. Jika pada tahun 2017 angka kemiskinan 7,44%, maka pada tahun 2018 turun 7,25%, dan 2019 tersisa 7,22%. Sementara angka pengangguran pada 2018 tinggal 7,29% dari sebelumnya 12 persen pada 2015 silam.
Menurunnya angka kemiskinan dan pengangguran berbanding lurus dengan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Banda Aceh naik dari 3,39 pada 2017 menjadi 4,49 persen pada 2018. Pendapatan per kapita juga naik dari Rp 64,2 juta menjadi Rp 66,2 juta per tahun. Kemudian inflasi juga turun dari 4,86 ke 1,93 persen.
Tumbuhnya perekonomian kota juga terkait erat dengan sektor pariwisata yang terus menggeliat. Pada 2017 jumlah kunjungan wisatawan tercatat 288 ribu orang, 2018 naik 380 ribu, dan 2019 meningkat tajam hingga 500 ribu lebih wisatawan domestik maupun mancanegara. Keberhasilan itu tentu menjadi semangat baru dalam berkerja dan berkarya. Semoga kehadiran para investor bisa mengenjot kebangkitan pembangunan Banda Aceh yang lebih baik ke depan.
Saya mengajak semua warga untuk mendukung setiap program pembangunan kota, sehingga Banda Aceh bisa menggapai cita-citanya yaitu “Gemilang dalam bingkai syariat Islam”. Semoga.
Sumber –> serambinews.com