Panggung Taman Sari Diminta Stop Sementara

Kabid Tata Ruang, Rahmatsyah Alam, ST. M.Si (dua dari kiri) saat menjadi narasumber di Diskusi Kota " Taman Sari" Masa Lalu, Kini, dan Esok

BANDA ACEH – Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah (JAPFT) menggelar diskusi terkait fungsi ekologis dan ekstrinsik Taman Sari (Bustanus Salatin) Banda Aceh sebagai RTH, serta menyoroti pembangunan panggung permanen di lokasi tersebut, Jumat (27/7), di Kafe Libri Gedung Perpustakaan Unsyiah. Diskusi itu melahirkan sejumlah rekomendasi, di antaranya meminta Pemko Banda Aceh untuk menyetop pembangunan panggung seharga Rp 1.850.120.000 tersebut.

Hadir sebagai narasumber, Ketua Jurusan Arsitektur dan Perencanaan FT Unsyiah, Dr Ir Izziah MSc, Kepala Bidang (Kabid) Penataan Ruang Dinas PUPR Kota Banda Aceh, Rahmatsyah Alam ST MSi, dan Ahli Hukum Administrasi Perencanaan FH Unsyiah, Dr Yanis Rinaldi SH MHum. Diskusi tersebut berlangsung alot, dimana sebagian besar peserta diskusi menginginkan Taman Sari dikembalikan fungsinya sebagai RTH.

Dr Ir Izziah MSc mengatakan, Taman Sari memiliki fungsi utama ekologis yaitu sebagai paru-paru kota, lahan resapan air, dan bagian dari sistem jaringan RTH kota Banda Aceh. Menurutnya, keberadaan panggung permanen juga kurang sejalan dengan upaya memperkuat citra kawasan ‘kota pusaka Banda Aceh’.

Dikatakan, jika ingin merestorasi kenangan masa lampau sekaligus merevitalisasi kawasan, kondisi Taman Sari harus dikembalikan menjadi taman yang luas, asri, dan sejuk. “Bila perlu, kembalikan permainan tradisional kita di sana,” katanya lagi.

Sementara Kabid Penataan Ruang Dinas PUPR Kota Banda Aceh, Rahmatsyah Alam, mengatakan, sebagai RTH publik yang strategis di pusat kota, Taman Sari memiliki multiperan dalam menampung kegiatan sosial budaya dan ekonomi warga. Dia menjelaskan, pembangunan masih dimungkinkan karena rasio antara luasan lahan terbangun dan tidak terbangun masih berkisar 80:20.

Rasio itu tidak menyalahi teknis penyelenggaraan RTH Publik dalam Permen Nomor 5 tahun 2008, dimana untuk taman kota disyaratkan 70-80 persen dari luas lahan untuk ruang terbuka tanpa perkerasan dan vegetasi. “Sisa 20 sampai 30 persen dibolehkan untuk perkerasan dan bangunan pendukung fungsi RTH,” jelasnya.

Sedangkan Ahli Hukum Administrasi Perencanaan FH Unsyiah, Dr Yanis Rinaldi SH MHum mengatakan, dalam UU Penataan Ruang, setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang serta memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

“Hak-hak masyarakat ini dapat diajukan melalui mekanisme advokasi, yaitu membangun komunikasi dengan pejabat berwenang,” ujar Yanis. Dijelaskan, masyarakat dapat mengajukan gugatan kepada pejabat berwenang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Menanggapi hasil rekomendasi diskusi JAPFT yang meminta Pemko Banda Aceh untuk menyetop pembangunan panggung permanen dan menggelar uji publik, Plt Kepala Dinas PUPR Banda Aceh, Ir Gusmeri MT siap melaksanakan rekomendasi itu jika diperlukan. Namun dia mengaku kecewa jika rencana itu sarat unsur politis.

“Kalau mau diuji silakan saja, meskipun saya bingung bagaimana mekanismenya. Saya hanya kecewa kalau di belakangnya ditunggangi politik. Karena di benak saya hanya ingin Banda Aceh ini bagus,” ujar Gusmeri, dan mengaku tidak sempat menghadiri diskusi itu. Menurutnya, pembangunan panggung permanen tidak mengurangi RTH, karena dibangun tepat di atas fondasi panggung yang sudah ada.

Selain itu, lanjutnya, adanya panggung permanen akan menghemat biaya sewa panggung yang mencapai puluhan juta rupiah setiap ada even. “Sewanya selama ini nggak murah, puluhan juta rupiah terbuang. Cobalah jalan-jalan ke kota lain, pembangunan di Banda Aceh masih lebih bagus dan teratur,” jelasnya.

Terkait dugaan isu panggung bermuatan politik, kata Gusmeri, hal itu diperkuat dengan sejumlah fakta tentang pembangunan di Banda Aceh beberapa tahun terakhir. Dia contohkan, bangunan Museum Digital di depan Kantor DPRK Banda Aceh, yang menghalangi pandangan dari Taman Sari ke Masjid Raya Baiturrahman justru tidak diprotes. “Itu yang jelas mengurangi RTH dan menghalangi pandangan kenapa tidak dipermasalahkan? Jadi setelah saya pelajari ini unsur politiknya kuat,” pungkasnya.

Sumber : Serambinews.com