Banda Aceh Menuju 100 0 100

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) III tahun 2015-2019, pemerintah Indonesia telah menetapkan target 100% penduduk memiliki akses air minum, berkurangnya kawasan kumuh hingga mencapai 0%, dan tersedianya akses sanitasi layak untuk 100% masyarakat Indonesia pada akhir tahun 2019. Pencapaian target tersebut dinamakan dengan “Gerakan 100-0-100”. Untuk mewujudkan target tersebut tentu sangat diperlukan kolaborasi dan dukungan dari semua pihak terkait agar pencapaiannya dapat sesuai target yakni pada akhir tahun 2019.

Pemerintah Kota Banda Aceh, melalui Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya telah menindak lanjuti program pemerintah pusat yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 ini. Hal ini dapat dilihat dari pekerjaan dan penanganan yang berhubungan dengan wilayah kumuh, akses air minum, dan sanitasi dikelola langsung oleh Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya, sehingga perencanaan dan penanganan untuk gerakan 100 0 100 dapat terlaksana dengan lebih terintegrasi.

1.     100% Akses Air Minum

CKA1.1

Yang Pertama, untuk mewujudkan sasaran 100% masyarakat yang mendapatkan akses air minum, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Daroy merupakan ujung tombak Pemerintah dalam mengelola penyediaan air minum di wilayah Kota Banda Aceh dengan jumlah penduduk 249.499 jiwa pada tahun 2014. Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya telah menfasilitasi PDAM Tirta Daroy dalam hal penyediaan sarana dan prasarana jaringan air minum di Kota Banda Aceh.

Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Daroy Kota Banda Aceh  didirikan berdasarkan Perda No.  2 Tahun 1975 Tanggal  24 Februari 1975  sebagai Perusahaan  Daerah penyedia air bersih untuk kebutuhan masyarakat di Ibukota Provinsi Aceh. Penggunaan  nama Tirta Daroy diangkat dari nama Sungai Krueng Daroy yang berhulu dari Pegunungan Mata Ie dan mengalir membelah Kota Banda  Aceh melewati Meuligoe Sultan Iskandar Muda (sekarang menjadi Pendopo Gubernur Aceh) dan bermuara ke Samudera Hindia.

Sistem pelayanan air minum di Kota Banda Aceh dengan cakupan pelayanan pada akhir tahun 2014 sebesar 83,39%. Dari angka tersebut, Pemerintah Kota Banda Aceh telah melampaui target MDGs 2015 untuk menurunkan hingga setengah proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap air minum layak yaitu sebesar 75%.

Meskipun begitu, upaya pengembangan sistem air minum di Kota Banda Aceh juga memiliki beberapa kendala, antara lain:

  1. Belum meratanya jaringan air minum pada masyarakat.
  2. Belum optimalnya pengelolaan sistem penyediaan air minum yang memenuhi standar 3K (kualitas, kuantitas dan kontinuitas) akibat dari dimensi pipa yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat pada saat ini.
  3. Rusaknya sistem jaringan perpipaan akibat pembangunan infrastruktur perkotaan, seperti pelebaran jalan, pembangunan drainase, penanaman kabel listrik dan kabel telekomunikasi.
  4. Tingkat kehilangan air masih tinggi yang diakibatkan oleh perilaku masyarakat terhadap sistem jaringan air minum.
  5. Peningkatan cakupan pelayanan air minum melalui Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) dengan jaringan perpipaan, belum dapat mengimbangi tingginya aktivitas perkotaan dan jumlah penduduk.

Jumlah sambungan rumah pada tahun 2014 sudah mencapai 41.614 sambungan melalui jaringan perpipaan. Pelayanan air bersih di wilayah pelayanan PDAM Tirta Daroy mempunyai angka kebocoran ±46%. Permasalahan yang dihadapai PDAM Tirta Daroy saat ini masih tingginya tingkat kehilangan air, efisiensi penagihan, management demand dan supply belum memadai dan kondisi kuantitas dan kualitas air baku tidak stabil.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan beberapa upaya sebagai berikut:

  1. Perlu penambahan jaringan perpipaan pada daerah yang belum merata dan mengoptimalkan jaringan yang sudah ada dengan memasang jaringan pendukung.
  2. Perlu adanya koordinasi antara pelaksana pembangunan infrastruktur dengan pihak PDAM sehingga dapat meminimalisir kerusakan jaringan pipa akibat dari pembangunan infrastruktur perkotaan.
  3. Perlu penerapan sanksi yang tegas terhadap para pengguna air ilegal dan pelaku perusakan sistem SPAM.
  4. Mengantisipasi tingkat kebutuhan air minum akibat aktivitas perkotaan dengan membangun infrastruktur pendukung.

Selain itu, PDAM Tirta Daroy juga telah menyusun Kebijakan dan Strategi Daerah Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (KSDP – SPAM) yang bertujuan:

  1. Mencapai arah kebijakan Pemerintah Kota Banda Aceh dalam pengembangan SPAM melalui rencana, program dan pelaksanaan kegiatan yang terpadu, efisien dan efektif.
  2. Mendukung program nasional 100-0-100 (air minum-kumuh-sanitasi) di Kota Banda Aceh.

Dari aspek keuangan untuk periode 2012 sampai dengan 2014 dengan Pendapatan Penjualan Air pada Tahun 2012 sebesar Rp. 32,799 Milyar, terus meningkat menjadi Rp. 35,493 Milyar pada tahun 2013 dan Rp. 35,755 Milyar pada tahun 2014. Kontribusi peningkatan pendapatan pada periode ini diperoleh dari adanya pertambahan jumlah pelanggan. Rata-rata pertambahan pelanggan yang dicapai adalah sebesar 2.500 unit per tahun. Angka ini menunjukkan kondisi keungan yang cukup baik dan kondusif sehingga diharapkan target 100% masyarakat yang akses air minum dapat tercapai ditahun 2019.

2.     0% Pemukiman Kumuh

Banda Aceh sebagai Ibu Kota Provinsi Aceh yang memiliki populasi sekitar 250 juta jiwa juga tidak sepenuhnya terlepas dari permasalahan kantong-kantong kemiskinan ini. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan dan kesehatan yang dianggap sebagai bagian kota yang harus disingkirkan. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area sering dilihat berpotensi menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena bisa menjadi sumber timbulnya berbagai masalah lingkungan, kesehatan, dan perilaku menyimpang, seperti kejahatan, serta sumber penyakit sosial lainnya.

Secara umum, ada tiga kriteria yang sering digunakan untuk menilai suatu permukiman dikategorikan kumuh, yaitu, pertama, kondisi fisiknya. Kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik merupakan beberapa ciri fisik dari permukiman kumuh. Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara lain mencakup tingkat pendapatan penduduk yang rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga, dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.

Secara keseluruhan, di wilayah Kota Banda Aceh memang tidak terdapat permukiman kumuh yang berkondisi sangat parah seperti di kota-kota Besar lainnya di Indonesia, akan tetapi Pemerintah Kota Banda Aceh perlu menanggapi dengan serius persoalan permukiman kumuh karena apa bila terus dibiarkan akan menjadi lebih parah dan lebih sulit untuk ditangani.

Berdasarkan keputusan WaliKota Banda Aceh Nomor: 372 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di Kota Banda Aceh, ada sejumlah 20 lokasi perumahan dan permukiman kumuh di wilayah Kota Banda Aceh yang tersebar di 7 kecamatan dengan total luas area sebesar 797,56 Ha. Keseluruhan lokasi ini dibagi kedalam 2 (dua) tingkatan berasarkan kondisi kualitas lingkungan di masing-masing lokasi, yang pertama adalah lokasi dengan tingkat kekumuhan sedang yang terdiri dari 7 lokasi, yaitu:

  1. Kawasan Lamlagang (14,44 Ha)
  2. Kawasan Seutui (20,44 Ha)
  3. Kawasan Lambaro Skep (73,01 Ha)
  4. Kawasan Alue Naga (77,031 Ha)
  5. Kawasan Deah Raya (30,74 Ha)
  6. Kawasan Tibang (16,21 Ha)
  7. Kawasan Gampong Jawa (79,09 Ha)

Yang ke dua adalah lokasi dengan tingkat kekumuhan ringan yang terdiri dari 13 lokasi yang terdiri dari:

  1. Kawasan Gampong Peuniti (27,98 Ha)
  2. Kawasan Mibo (76,37 Ha)
  3. Kawasan Neusu Jaya (18,4 Ha)
  4. Kawasan Sukaramai (12,84 Ha)
  5. Kawasan Gampong Laksana (5,33 Ha)
  6. Kawasan Beurawe (1,21 Ha)
  7. Kawasan Gampong Keuramat (34,65 Ha)
  8. Kawasan Peunayong (39,06 Ha)
  9. Kawasan Lamgugop (73,89 Ha)
  10. Kawasan Lampeout (2,38 Ha)
  11. Kawasan Lhong Cut (41,97 Ha)
  12. Kawasan Lamteumen Barat (59,75 Ha)
  13. Kawasan Lueng Bata (92,50 Ha)

Besarnya wilayah permukiman kumuh yang mencapai kurang lebih 797 Ha ini merupakan indikasi perlu nya penanganan yang serius dari Pemerintah Kota Banda Aceh.

Meskipun banyak program-program pemerintah yang telah dibuat untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh, namun permasalahan permukiman kumuh ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, hal ini disebabkan upaya penanganan yang sudah dilaksanakan masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi, selain itu belum optimalnya dukungan pendanaan dan investasi dalam penanganan kawasan kumuh ini juga menjadi salah satu sebab belum tuntasnya permasalahan permukiman kumuh.

Dengan patokan hasil survey tahun 2012, Pemerintah Kota Banda Aceh menargetkan beberapa hal yang berhubungan dengan permukiman kumuh yang diharapkan tercapai ditahun 2017, diantaranya:

  • Pengurangan rasio luasan permukiman kumuh di kawasan Perkotaan Banda Aceh dari 2% menjadi 0,5%.
  • Meningkatnya rasio rumah layak huni dari 90,59% menjadi 95,59%.
  • Meningkatnya rasio penduduk yang memiliki akses air bersih dari 79,9% menjadi 84,9%
  • Meningkatnya cakupan pelayanan persampahan sebanyak 5%
  • Meningkatnya rasio rumah berakses sanitasi sebanyak 5%
  • Meningkatnya persentase drainase dalam kondisi baik dari 60% menjadi 62,98%.

Pada tahun 2015, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya telah melaksanakan kegiatan peningkatan sarana dan prasarana daerah permukiman kumuh di 4 (empat) lokasi yang termasuk dalam tingkat kekumuhan sedang yaitu Kawasan Lambaro Skep, Kawasan Alue Naga, Kawasan Deah Raya, dan Kawasan Tibang. Kegiatan ini memakan dana sebesar Rp. 17.648.124.200,- yang didalamnya mencakup beberapa pekerjaan antara lain; pembangunan dan peningkatan jalan sepanjang 11,72 km, pembangunan dan peningkatan drainase sepanjang 5,74 km, pengadaan motor sampah sebanyak 5 unit, dan lampu jalan tenaga surya sebanyak 50 unit.

Berdasarkan hasil Rencana Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan Banda Aceh (RKPKP) di Tahun Anggaran 2015, titik lokasi kumuh bertambah dari 20 lokasi menjadi 22 lokasi, meskipun begitu, luas area permukiman kumuh mengalami penurunan dari 797 Ha menjadi 463 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa selain penanganan yang telah dilakukan selama ini di berbagai wilayah permukiman kumuh, perlu juga dilakukan upaya pencegahan agar tidak ada penambahan lokasi kumuh di Kota Banda Aceh sehingga di tahun 2019, target Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menurunkan hingga 0% daerah kumuh dapat terwujud.

3. 100% Sanitasi Yang Layak

Guna menangani permasalahan sanitasi di wilayah Kota Banda Aceh, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan 4 (empat) sektor penanganan Sanitasi Kota Banda Aceh, yaitu:

  1. Air Limbah
  2. Persampahan
  3. Drainase
  4. PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat)

Selanjutnya akan dibahas tentang air limbah dan drainase.

Air Limbah

CKA2.1

CKA2.3CKA2.2

 

Di Indonesia, pengelolaan kualitas air merupakan salah satu prioritas dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Air merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan manusia pada khususnya dan mahluk hidup lain pada umumnya. Oleh karena air memiliki karakteristik fisik dan kimiawi yang sangat mempengaruhi kehidupan organisme di  dalamnya, maka jika terjadi perubahan pada kualitas air, terutama oleh pencemaran lingkungan, akan mengakibatkan rusaknya keseimbangan hidup organisme yang ada di perairan tersebut, bahkan kehidupan manusia juga dapat terganggu.

Pencemaran pada lingkungan air lebih baik dikendalikan pada tingkat awal dari suatu proses pencemaran yang terjadi artinya, pengelolaan limbah harus sudah dimulai dari rumah tangga dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Karena apabila tingkat pencemaran air menjadi sangat tinggi, maka pencegahan dan penanggulangannya memerlukan biaya yang sangat tinggi.

Di Kota Banda Aceh, permasalahan pengelolaan air limbah sudah sangat komplek. Pemahaman masyarakat Kota Banda Aceh terhadap dampak negatif dari limbah, khususnya limbah domestik masih sangat kurang, selain itu, studi tentang kelayakan air limbah di wilayah Kota Banda Aceh juga belum ada yang meneliti, sehingga sulit dibuktikan secara ilmiah realitas mengani kualitas air limbah di Kota Banda Aceh.

Minimnya respon masyarakat dan swasta terhadap penyuluhan pengelolaan air limbah juga menambah daftar panjang permasalahan pengelolaan air limbah di Kota Banda Aceh disamping sulitnya mendapatkan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana air limbah, hal ini juga disebabkan pemahaman masyarakat yang masih minim mengenai pentingnya sarana dan prasarana air limbah ini.

Berdasarkan survey yang dilakukan di tahun 2009, 5,6% warga Kota Banda Aceh masih menyalurkan BAB di tempat selain tangki septik. Akan tetapi, meskipun 94,4% warga lainnya telah menggunakan tangki septik, 37,7% tangki septik tidak pernah dikosongkan secara berkala dan 21,8% tangki septik berjarak kurang dari 10 meter dari sumber air minum. Fakta ini tentunya sangat memprihatinkan dan perlu segera ditangani sehingga perlu ditunjuk lembaga/instansi yang mengelola pengolahan air limbah domestik tersebut.

Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Limbah merupakan salah satu tugas dari Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kota Banda Aceh, program ini mencakup kegiatan penyediaan prasarana dan sarana air limbah, fasilitasi pembinaan teknik pengolahan air limbah, dan rehabilitasi/pemeliharaan sarana dan prasarana air limbah.

Tujuan utama dari program pengembangan kinerja pengelolaan air limbah ini adalah ” Meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat dan bersih di Kota Banda Aceh melalui pengelolaan air limbah yang berwawasan lingkungan tahun 2019″.

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, ditetapkan 4 (empat) sasaran yang harus dicapai pada tahun 2019, yaitu:

  1. Tidak ada lagi penyaluran buangan akhir ke selain tangki septic yang dimulai untuk zona prioritas
  2. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap dampak negatif dari limbah yang dihasilkan dari rumah tangga
  3. Terbentuk lembaga khusus yang menangani pengelolaan sarana dan prasarana air limbah
  4. Tersedianya IPAL kawasan pada zona prioritas

Selanjutnya, telah direncanakan 5 (lima) langkah strategis yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan pada tahun 2019, yaitu:

  1. Kajian kelayakan pengelolaan air limbah sehingga menghasilkan DED air limbah
  2. Mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan MCK dan IPAL/ septik tank melalui pengorganisasian masyarakat dalam kelompok
  3. Meningkatkan pemeliharan sarana dan prasarana air limbah
  4. Membentuk lembaga khusus untuk menangani pengelolaan air limbah
  5. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pengelola sarana dan prasana air limbah

Agar kegiatan pengelolaan sarana dan prasarana pengolahan air limbah dapat lebih terfokus, wilayah kerja kegiatan ini dibagi dalam 5 zona kerja dimana setiap zona diatur berdasarkan skala priotas penanganan, sehingga wilayah dengan pencemaran air terparah dapat segera ditangani dengan tersedianya IPAL kawasan di zona prioritas ini.

IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang dimaksudkan disini adalah instalasi pengolahan air limbah yang merupakan sebuah struktur yang dirancang untuk memproses dan mengolah serta membuang limbah biologis dan kimia dari air sehingga menjadi air level 3 yang dapat digunakan pada aktifitas yang lain atau langsung dialirkan kesaluran umum tanpa adanya pencemaran pada lingkungan.

Di Banda Aceh telah dibangun beberapa IPALyang hasil pengolahannya dapat langsung dialirkan ke saluran umum dengan tujuan tidak adanya lagi pencemaran lingkungan. IPAL yang sudah dibangun adalah IPAL Pasar Ikan Peunayong, Pasar Batoh, Pasar Setui, dan Pasar Peuniti, Selain itu dibangun pula IPAL domestik yang berlokasi di Gampong Peunayong dan Beurawe.

IPAL pasar dibangun untuk limbah dari pasar tetapi saat ini IPAL terbangun tidak berfungsi dengan baik karena IPAL dijadikan tempat pembuangan sampah oleh para pedagang. Hal ini tentu memprihatinkan, sehingga perlu dilakukan sosialisasi kepada pedagang dan pihak pasar dalam pengelolaan IPAL sudah yang ada.

Untuk IPAL domestik kapasitas 50 KK yang dibangun belum ada sambungan rumah karena masyarakat masih mau memakai septik tank onsite.

Di dalam kegiatan penyediaan sarana dan prasarana air limbah, telah dibangun 13 unit MCK plus dari tahun 2011 sampai tahun 2015, setiap unit MCK plus ini terdiri dari bangunan atas berupa MCK dan tangki septik (IPAL) dengan teknologi Anaerobic Up-flow Filter, dengan ini diharapkan dapat terjadi pengurangan pencemaran yang dihasilkan dari MCK yang berlokasi di tempat-tempat umum.

Berdasarkan lokakarya Memorandum Program Sanitasi (MPS), untuk melaksanakan kegiatan ini dari 2015 sampai tahun 2019 diperkirakan akan memakan biaya sekitar  Rp. 237.504.000.000 yang berasal dari tiga sumber pembiayaan yaitu APBK (5%), APBA (2%) dan APBN (93%).

Selain kegiatan dengan sumber dana tersebut diatas, di tahun 2015 juga telah dilaksanakan Tahap 1 (satu) pembangunan 1 unit IPAL untuk 30 SR yang didanai oleh IDB (International Development Bank) yang berlokasi di Gampong Ceurih, Dusun Tgk. Di Cot, kegiatan ini masih berlanjut di tahun 2016 untuk tahap selanjutnya.

Sementara Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga telah melaksanakan kegiatan Pembangunan IPAL dan Jaringan Air Limbah Kota Banda Aceh dari Gampong Peuniti sampai ke Gampong Jawa yang dimulai pada akhir tahun 2015 dan diharapkan selesai pada akhir tahun 2017, dalam kegiatan ini mencakup 3 pekerjaan utama, yaitu:

  1. Pekerjaan Jaringan Perpipaan Air Limbah Peuniti 1 dan Peuniti 2
  2. Pekerjaan Pemipaan dari Peuniti ke IPAL Gampong Jawa
  3. Pekerjaan Pembangunan IPAL Gampong Jawa dan Sarana Pendukungnya

Pada tahun 2016, selain pekerjaan lanjutan di atas, direncanakan pula pembangunan 8 unit toilet umum dan 2 unit tangki septik dengan 10 SR. Dengan kerjasama berbagai pihak diharapkan pada tahun 2019 seluruh sasaran yang telah ditetapkan dapat tercapai dan lingkungan Kota Banda Aceh yang bersih dan sehat dapat terwujud.

Drainase

CKA3.1 CKA3.3CKA3.2

 

 

 

 

 

 

Fungsi utama dari drainase adalah menyalurkan air hujan sehingga tidak ada air yang tergenang secara tidak sengaja di wilayah permukiman penduduk. Berbicara tentang penyaluran air hujan, berdasarkan Lokakarya Memorandum Program Sanitasi (MPS) 2014, di Kota Banda Aceh masih ada sebanyak 29,7% wilayah Kota Banda Aceh yang tergenang pada saat musim hujan, seperti yang kita pahami bahwa genangan air di lingkungan masyarakat merupakan sumber penyakit yang dapat mengganggu kesehatan penduduk di lingkungan tersebut sehingga banyak terjadi kasus penyakit seperti diare, penyakit kulit, dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh sanitasi yang tidak sehat. Oleh karena itu, peran aktif pemerintah sangat diperlukan untuk menyediakan sarana dan prasarana drainase yang memadai sehingga tidak ada lagi lingkungan di Kota Banda Aceh yang tergenang air pada saat musim hujan tiba.

Di lingkungan Pemerintahan Kota Banda Aceh, Dinas Pekerjaan Umum adalah instansi yang ditugaskan untuk mengelola saluran drainase di wilayah Kota Banda Aceh. Tujuan umum dari pengelolaan drainase Kota Banda Aceh adalah “Menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih  melalui penyediaan sarana dan prasarana drainase tahun 2019” sedangkan target dari kegiatan ini adalah mengurangi jumlah wilayah tergenang di Kota Banda Aceh menjadi hanya 15% pada tahun 2019.

Untuk mencapai target yang ditetapkan diatas, ada 4 strategi pengelolaan drainase yang dilaksanakan oleh Dinas PU, yaitu:

  1. Mengembangkan perencanaan system drainase/gorong-gorong yang terintegrasi dan komprehensif.
  2. Program pembangunan saluran drainase/ gorong-gorong
  3. Membangun dan memelihara drainase/gorong-gorong
  4. Melakukan normalisasi sungai

Selain melaksanakan 4 strategi pengelolaan drainase, telah dibagi wilayah kerja pengelolaan drainase menjadi 8 (delapan) zona, pembagian zona ini dibuat mengikuti aliran sungai yang berada di wilayah Kota Banda Aceh, hal ini diperlukan sehingga kegiatan pengelolaan drainase ini dapat lebih terarah dan berkesinambungan, ke delapan zona ini meliputi seluruh kecamatan yang berada di wilayah administrasi Kota Banda Aceh.

Selanjutnya, berdasarkan Lokakarya Memorandum Program Sanitasi, untuk merealisasikan kegiatan pengelolaan drainase Kota Banda Aceh, diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar Rp. 222.150.000.000,-. Biaya sebesar ini diperoleh dari 3 sumber yaitu APBN sebanyak 49%, APBK sebanyak 29%, dan sisanya 22% berasal dari APBA.

Dengan ketersediaan dana tersebut, diharapkan sasaran kegiatan pengelolaan drainase ini dapat tercapai di tahun 2019.

IPAL

Di Indonesia, pengelolaan kualitas air merupakan salah satu prioritas dalam kegiatan pengelolaan lingkungan. Air merupakan komponen yang sangat penting bagi kehidupan manusia pada khususnya dan mahluk hidup lain pada umumnya. Oleh karena air memiliki karakteristik fisik dan kimiawi yang sangat mempengaruhi kehidupan organisme di  dalamnya, maka jika terjadi perubahan pada kualitas air, terutama oleh pencemaran lingkungan, akan mengakibatkan rusaknya keseimbangan hidup organisme yang ada di perairan tersebut, bahkan kehidupan manusia juga dapat terganggu.

Pencemaran pada lingkungan air lebih baik dikendalikan pada tingkat awal dari suatu proses pencemaran yang terjadi artinya, pengelolaan limbah harus sudah dimulai dari rumah tangga dan lingkungan masyarakat itu sendiri. Karena apabila tingkat pencemaran air menjadi sangat tinggi, maka pencegahan dan penanggulangannya memerlukan biaya yang sangat tinggi.

Di Kota Banda Aceh, permasalahan pengelolaan air limbah sudah sangat komplek. Pemahaman masyarakat Kota Banda Aceh terhadap dampak negatif dari limbah, khususnya limbah domestik masih sangat kurang, selain itu, studi tentang kelayakan air limbah di wilayah Kota Banda Aceh juga belum ada yang meneliti, sehingga sulit dibuktikan secara ilmiah realitas mengani kualitas air limbah di Kota Banda Aceh.

Minimnya respon masyarakat dan swasta terhadap penyuluhan pengelolaan air limbah juga menambah daftar panjang permasalahan pengelolaan air limbah di Kota Banda Aceh disamping sulitnya mendapatkan lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana air limbah, hal ini juga disebabkan pemahaman masyarakat yang masih minim mengenai pentingnya sarana dan prasarana air limbah ini.

Berdasarkan survey yang dilakukan di tahun 2009, 5,6% warga Kota Banda Aceh masih menyalurkan BAB di tempat selain tangki septik. Akan tetapi, meskipun 94,4% warga lainnya telah menggunakan tangki septik, 37,7% tangki septik tidak pernah dikosongkan secara berkala dan 21,8% tangki septik berjarak kurang dari 10 meter dari sumber air minum. Fakta ini tentunya sangat memprihatinkan dan perlu segera ditangani sehingga perlu ditunjuk lembaga/instansi yang mengelola pengolahan air limbah domestik tersebut.

Program Pengembangan Kinerja Pengelolaan Air Limbah merupakan salah satu tugas dari Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kota Banda Aceh, program ini mencakup kegiatan penyediaan prasarana dan sarana air limbah, fasilitasi pembinaan teknik pengolahan air limbah, dan rehabilitasi/pemeliharaan sarana dan prasarana air limbah.

Tujuan utama dari program pengembangan kinerja pengelolaan air limbah ini adalah ” Meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat dan bersih di Kota Banda Aceh melalui pengelolaan air limbah yang berwawasan lingkungan tahun 2019″.

Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, ditetapkan 4 (empat) sasaran yang harus dicapai pada tahun 2019, yaitu:

  1. Tidak ada lagi penyaluran buangan akhir ke selain tangki septic yang dimulai untuk zona prioritas
  2. Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap dampak negatif dari limbah yang dihasilkan dari rumah tangga
  3. Terbentuk lembaga khusus yang menangani pengelolaan sarana dan prasarana air limbah
  4. Tersedianya IPAL kawasan pada zona prioritas

Selanjutnya, telah direncanakan 5 (lima) langkah strategis yang akan dilaksanakan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan pada tahun 2019, yaitu:

  1. Kajian kelayakan pengelolaan air limbah sehingga menghasilkan DED air limbah
  1. Mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan MCK dan IPAL/ septik tank melalui pengorganisasian masyarakat dalam kelompok
  2. Meningkatkan pemeliharan sarana dan prasarana air limbah
  3. Membentuk lembaga khusus untuk menangani pengelolaan air limbah
  4. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan pengelola sarana dan prasana air limbah

Agar kegiatan pengelolaan sarana dan prasarana pengolahan air limbah dapat lebih terfokus, wilayah kerja kegiatan ini dibagi dalam 5 zona kerja dimana setiap zona diatur berdasarkan skala priotas penanganan, sehingga wilayah dengan pencemaran air terparah dapat segera ditangani dengan tersedianya IPAL kawasan di zona prioritas ini.

IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang dimaksudkan disini adalah instalasi pengolahan air limbah yang merupakan sebuah struktur yang dirancang untuk memproses dan mengolah serta membuang limbah biologis dan kimia dari air sehingga menjadi air level 3 yang dapat digunakan pada aktifitas yang lain atau langsung dialirkan kesaluran umum tanpa adanya pencemaran pada lingkungan.

Di Banda Aceh telah dibangun beberapa IPALyang hasil pengolahannya dapat langsung dialirkan ke saluran umum dengan tujuan tidak adanya lagi pencemaran lingkungan. IPAL yang sudah dibangun adalah IPAL Pasar Ikan Peunayong, Pasar Batoh, Pasar Setui, dan Pasar Peuniti, Selain itu dibangun pula IPAL domestik yang berlokasi di Gampong Peunayong dan Beurawe.

IPAL pasar dibangun untuk limbah dari pasar tetapi saat ini IPAL terbangun tidak berfungsi dengan baik karena IPAL dijadikan tempat pembuangan sampah oleh para pedagang. Hal ini tentu memprihatinkan, sehingga perlu dilakukan sosialisasi kepada pedagang dan pihak pasar dalam pengelolaan IPAL sudah yang ada.

Untuk IPAL domestik kapasitas 50 KK yang dibangun belum ada sambungan rumah karena masyarakat masih mau memakai septik tank onsite.

Di dalam kegiatan penyediaan sarana dan prasarana air limbah, telah dibangun 13 unit MCK plus dari tahun 2011 sampai tahun 2015, setiap unit MCK plus ini terdiri dari bangunan atas berupa MCK dan tangki septik (IPAL) dengan teknologi Anaerobic Up-flow Filter, dengan ini diharapkan dapat terjadi pengurangan pencemaran yang dihasilkan dari MCK yang berlokasi di tempat-tempat umum.

Berdasarkan lokakarya Memorandum Program Sanitasi (MPS), untuk melaksanakan kegiatan ini dari 2015 sampai tahun 2019 diperkirakan akan memakan biaya sekitar  Rp. 237.504.000.000 yang berasal dari tiga sumber pembiayaan yaitu APBK (5%), APBA (2%) dan APBN (93%).

Selain kegiatan dengan sumber dana tersebut diatas, di tahun 2015 juga telah dilaksanakan Tahap 1 (satu) pembangunan 1 unit IPAL untuk 30 SR yang didanai oleh IDB (International Development Bank) yang berlokasi di Gampong Ceurih, Dusun Tgk. Di Cot, kegiatan ini masih berlanjut di tahun 2016 untuk tahap selanjutnya.

Sementara Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga telah melaksanakan kegiatan Pembangunan IPAL dan Jaringan Air Limbah Kota Banda Aceh dari Gampong Peuniti sampai ke Gampong Jawa yang dimulai pada akhir tahun 2015 dan diharapkan selesai pada akhir tahun 2017, dalam kegiatan ini mencakup 3 pekerjaan utama, yaitu:

  1. Pekerjaan Jaringan Perpipaan Air Limbah Peuniti 1 dan Peuniti 2
  2. Pekerjaan Pemipaan dari Peuniti ke IPAL Gampong Jawa
  3. Pekerjaan Pembangunan IPAL Gampong Jawa dan Sarana Pendukungnya

Pada tahun 2016, selain pekerjaan lanjutan di atas, direncanakan pula pembangunan 8 unit toilet umum dan 2 unit tangki septik dengan 10 SR. Dengan kerjasama berbagai pihak diharapkan pada tahun 2019 seluruh sasaran yang telah ditetapkan dapat tercapai dan lingkungan Kota Banda Aceh yang bersih dan sehat dapat terwujud.

Pemukiman Kumuh

CKA5.1 CKA5.3CKA5.2

 

 

 

 

Di kota-kota besar di Indonesia, masalah kemiskinan merupakan persoalan yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial diluar kendali atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya.

Banda Aceh sebagai Ibu Kota Provinsi Aceh yang memiliki populasi sekitar 250 juta jiwa juga tidak sepenuhnya terlepas dari permasalahan kantong-kantong kemiskinan ini. Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan dan kesehatan yang dianggap sebagai bagian kota yang harus disingkirkan. Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slump area sering dilihat berpotensi menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena bisa menjadi sumber timbulnya berbagai masalah lingkungan, kesehatan, dan perilaku menyimpang, seperti kejahatan, serta sumber penyakit sosial lainnya.

Secara umum, ada tiga kriteria yang sering digunakan untuk menilai suatu permukiman dikategorikan kumuh, yaitu, pertama, kondisi fisiknya. Kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik merupakan beberapa ciri fisik dari permukiman kumuh. Kedua, kondisi sosial ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara lain mencakup tingkat pendapatan penduduk yang rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga, dampak oleh kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang berdampak pada kehidupan keseluruhannya.

Secara keseluruhan, di wilayah Kota Banda Aceh memang tidak terdapat permukiman kumuh yang berkondisi sangat parah seperti di kota-kota Besar lainnya di Indonesia, akan tetapi Pemerintah Kota Banda Aceh perlu menanggapi dengan serius persoalan permukiman kumuh karena apa bila terus dibiarkan akan menjadi lebih parah dan lebih sulit untuk ditangani.

Berdasarkan keputusan WaliKota Banda Aceh Nomor: 372 Tahun 2014 tentang Penetapan Lokasi Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh di Kota Banda Aceh, ada sejumlah 20 lokasi perumahan dan permukiman kumuh di wilayah Kota Banda Aceh yang tersebar di 7 kecamatan dengan total luas area sebesar 797,56 Ha. Keseluruhan lokasi ini dibagi kedalam 2 (dua) tingkatan berasarkan kondisi kualitas lingkungan di masing-masing lokasi, yang pertama adalah lokasi dengan tingkat kekumuhan sedang yang terdiri dari 7 lokasi, yaitu:

  1. Kawasan Lamlagang (14,44 Ha)
  2. Kawasan Seutui (20,44 Ha)
  3. Kawasan Lambaro Skep (73,01 Ha)
  4. Kawasan Alue Naga (77,031 Ha)
  5. Kawasan Deah Raya (30,74 Ha)
  6. Kawasan Tibang (16,21 Ha)
  7. Kawasan Gampong Jawa (79,09 Ha)

Yang ke dua adalah lokasi dengan tingkat kekumuhan ringan yang terdiri dari 13 lokasi yang terdiri dari:

  1. Kawasan Gampong Peuniti (27,98 Ha)
  2. Kawasan Mibo (76,37 Ha)
  3. Kawasan Neusu Jaya (18,4 Ha)
  4. Kawasan Sukaramai (12,84 Ha)
  5. Kawasan Gampong Laksana (5,33 Ha)
  6. Kawasan Beurawe (1,21 Ha)
  7. Kawasan Gampong Keuramat (34,65 Ha)
  8. Kawasan Peunayong (39,06 Ha)
  9. Kawasan Lamgugop (73,89 Ha)
  10. Kawasan Lampeout (2,38 Ha)
  11. Kawasan Lhong Cut (41,97 Ha)
  12. Kawasan Lamteumen Barat (59,75 Ha)
  13. Kawasan Lueng Bata (92,50 Ha)

Besarnya wilayah permukiman kumuh yang mencapai kurang lebih 797 Ha ini merupakan indikasi perlunya penanganan yang serius dari Pemerintah Kota Banda Aceh.

Meskipun banyak program-program pemerintah yang telah dibuat untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh, namun permasalahan permukiman kumuh ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, hal ini disebabkan upaya penanganan yang sudah dilaksanakan masih bersifat sektoral dan belum terintegrasi, selain itu belum optimalnya dukungan pendanaan dan investasi dalam penanganan kawasan kumuh ini juga menjadi salah satu sebab belum tuntasnya permasalahan permukiman kumuh.

Dengan patokan hasil survey tahun 2012, Pemerintah Kota Banda Aceh menargetkan beberapa hal yang berhubungan dengan permukiman kumuh yang diharapkan tercapai ditahun 2017, diantaranya:

  • Pengurangan rasio luasan permukiman kumuh di kawasan Perkotaan Banda Aceh dari 2% menjadi 0,5%.
  • Meningkatnya rasio rumah layak huni dari 90,59% menjadi 95,59%.
  • Meningkatnya rasio penduduk yang memiliki akses air bersih dari 79,9% menjadi 84,9%
  • Meningkatnya cakupan pelayanan persampahan sebanyak 5%
  • Meningkatnya rasio rumah berakses sanitasi sebanyak 5%
  • Meningkatnya persentase drainase dalam kondisi baik dari 60% menjadi 62,98%.

Pada tahun 2015, Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya telah melaksanakan kegiatan peningkatan sarana dan prasarana daerah permukiman kumuh di 4 (empat) lokasi yang termasuk dalam tingkat kekumuhan sedang yaitu Kawasan Lambaro Skep, Kawasan Alue Naga, Kawasan Deah Raya, dan Kawasan Tibang. Kegiatan ini memakan dana sebesar Rp. 17.648.124.200,- yang didalamnya mencakup beberapa pekerjaan antara lain; pembangunan dan peningkatan jalan sepanjang 11,72 km, pembangunan dan peningkatan drainase sepanjang 5,74 km, pengadaan motor sampah sebanyak 5 unit, dan lampu jalan tenaga surya sebanyak 50 unit.

Berdasarkan hasil Rencana Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan Banda Aceh (RKPKP) di Tahun Anggaran 2015, titik lokasi kumuh bertambah dari 20 lokasi menjadi 22 lokasi, meskipun begitu, luas area permukiman kumuh mengalami penurunan dari 797 Ha menjadi 463 Ha. Hal ini menunjukkan bahwa selain penanganan yang telah dilakukan selama ini di berbagai wilayah permukiman kumuh, perlu juga dilakukan upaya pencegahan agar tidak ada penambahan lokasi kumuh di Kota Banda Aceh sehingga di tahun 2019, target Pemerintah Kota Banda Aceh untuk menurunkan hingga 0% daerah kumuh dapat terwujud.

“By : Bidang Cipta Karya”