Musrena: Tekad Illiza Wujudkan Banda Aceh Sebagai Kota Ramah Gender

Habitat_IIIJakarta – Wali Kota Banda Aceh Hj Illiza Saaduddin Djamal SE menjadipembicara pada forum Habitat III Regional Meeting Asia-Pacific di Fairmont Convention Center, Jakarta, Rabu (21/10/2015).

Dalam sesi pertemuan bertema “Engendering the New Urban Agenda-Strategies and Recommendation for Gender Equality and Women Empowerment in Local Governance, Illiza kembali berbagi praktek keberhasilan Banda Aceh dalam meningkatkan partisipasi perempuan demi mencapai pembangunan yangberkelanjutan.

Mengawali presentasinya, Illiza menyebutkan, pasca bencana tsunami 2004, pembangunan Kota Banda Aceh fokus pada pembangunan fisik. Saat itu kelompok marjinal memiliki akses yang sangat terbatas untuk berpartisipasi di dalam kegiatan perencanaan pembangunan dan proses pengambilan keputusan. “Sementara disadari isu-isu gender memiliki peran penting dan dapat mempengaruhi berbagai aspek lainnya seperti bidang sosial, politik, ekonomi, kemiskinan, serta kebijakan tata ruang di kota.”

Kepedulian dan kesadaran akan adanya kesetimpangan antara keterlibatan perempuan dan laki laki mulai disadari pada 2007. Komposisi penduduk perempuan yang lebih besar dari laki-laki yaitu 53% ternyata hanya terwakili sebesar 27% pada kegiatan perencanaan kota.

“Terlebih lagi suara dari kelompok kecil perempuan tersebut tidak mendapat tempat sehingga aspirasi dan pendapat dari kelompok perempuan cenderung terabaikan dan tersisih. Hal ini tentunya berpengaruh pada realisasi kegiatan pembangunan yang minim akan program-program yang berpihak terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak,” katanya.

Untuk menjawab hal tersebut, Pemko Banda Aceh kemudian membentuk suatu forum Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (Musrena), sebagai tempat bagi perempuan untuk menyuarakan opini serta kebutuhan mereka.

Ia mengungkapkan, perempuan membutuhkan forum tersediri terpisah dari laki-laki agar mereka lebih leluasa untuk menyampaikan aspirasinya tanpa harus merasa segan atau takut dibantah oleh kaum laki-laki.

“Musrena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses perencanaan Kota Banda Aceh dan bersanding dengan proses perencanaan yang sudah ada sebelumnya. Usulan tersebut kemudian digabungkan dan dipilah sesuai skala prioritas dan kebutuhan kota secara umum,” katanya.

Tujuan khusus dari metode perencanaan ini adalah untuk memperkuat posisi perempuan dalam porses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan yang selama ini didominasi oleh laki-laki. “Musrena merupakan wadah yang demokratis, strategis, partisipatif, dan politis bagi kaum perempuan untuk dapat berkontribusi dan terlibat aktif dalam pembangunan.”

“Musrena juga menjadi wadah dan ajang pembelajaran bagi perempuan untuk meningkatkan kapasitasnya dalam menyuarakan aspirasinya di ruang publik. Sedangkan tujuan umum dari Musrena adalah untuk mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai kota yang ramah gender,” katanya lagi.

Dalam proses penerapannya, tambah Illiza, tentu ada tantangan dan protes dari kaum lelaki. Namun lewar komunikasi yang intensif dua arah, termasuk melakukanbrainstorming dengan seluruh stakeholder yang terlibat, dan diskusi terbuka, akhirnya Musrena diterima sebagai forum resmi yang menampung aspirasi perempuan mendampingi proses perencanaan kota secara umum.

Illiza kemudian membandingkan, usulan perencanaan yang didominasi oleh laki-laki menunjukkan fokus pada program fisik seperti pembangunan jalan, drainase, dan lain-lain. Sedangkan usulan perempuan lebih kepada bidang sosial seperti kesehatan, pendidikan, lingkungan, serta keamanan lingkungan sekitar. “Jika digabungkan maka usulan pembangunan dari masyarakat menjadi lebih kaya dan bervariasi serta menjawab isu permasalahan secara lebih luas.”

Ia menambahkan, Musrena juga tidak terpisahkan dengan proses perencanaan pembangunan daerah yang telah diatur oleh pemerintah pusat. “Dalam prakteknya secara sederhana, usulan dari Musrena dan Musrenbang digabungkan menjadi suatu usulan strategis kota. Alokasi dana diatur berdasarkan skala prioritas dan kebutuhan masyarakat, sehingga pembangunan tidak hanya melulu pada pembangunan fisik, namun juga bidang-bidang sosial lainnya.”

Aktivitas pengarusutamaan gender yang digagas pihaknya, kata Illiza, berbuah beragam penghargaan dari asosiasi pemerintah kabupatan/kota se-Indonesia hingga penghargaan MDGs dan gender awards dari pemerintah Jerman.

“Dibalik berbagai pencapaian tersebut, tentu masih ada tantangan yang dihadapi, yakni meningkatkan kualitas dan kapasitas perempuan sehingga mereka menjadi lebih siap dan dapat menyuarakan program-program dan usulan yang lebih berkualitas dan berkontribusi lebih bagi pembangunan.”

Menutup presentasinya, Illiza menyayangkan masih sangat rendahnya peresentase perempuan yang terlibat aktif dalam politik maupun posisi penting dalam suatuorganisasi. ”Hari ini, kesetaraan gender masih menjadi salah satu point penting dalam SDGs. Kita harus menyadari perempuan merupakan aset yang berharga bagi kegiatan pembangunan karena keberagaman gender dalam top management dapat meningkatkan performa dari suatu organisasi,” pungkasnya.

Selain Illiza, turut menjadi pembicara pada forum tersebut antara lain Sun Jae Jeng (Seoul Foundation for Woman), Omar Siddique (Urban Spesialist of Cities Allience), Fides Bagasao (Executive Board Member, Huairou Coommission), dan Mariko Sato (Chief, Bangkok Liasion Officer UN Habitat). (Jun)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*